Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akalisasi Intelektual atas Nama Ilmiah, Kritis dan Modernisasi

Menyikapi gairah intelektual ilmiah mahasiswa zaman sekarang, dimana tensi pemujaan terhadap pemikiran akal semakin melejit mengiringi animo euforia mahasiswa, khususnya mahasiswa baru. Mungkin tidak hanya mahasiswa baru saja. Mahasiswa kawakan (lama) pun turut beriak dan bercetar-cetar membahana mengikuti alur ini. Apakah itu tergabung dalam sebuah studi khusus ataukah sebuah organisasi, mungkin pula sebuah kelompok-kelompok tertentu. Tapi yang pasti tetap bersinggungan dengan akal-akal para mahsiswa cerdas. Tren mahasiswa memang sedang mengalami masa puber, dimana mereka menggeliat mencari ruang dan waktu untuk mengekspresikan pemikiran mereka atas nama masyarakat ilmiah yang berbudaya.

Hiruk piruk wacana diskursif berlagak logis ilmiah telah menciptakan akalisasi ditengah kebeliaan pemahaman. Propaganda memukau ini memang sedang digandrungi, seakan-akan menjadi sebuah nilai yang kontras harus dimiliki oleh setiap pelajar yang bertitel ‘maha’ ini. Sudah tidak zaman dan katro mungkin jika tidak ikut-ikutan bazar pengekspresian pemikiran ini. Luar binasa memang. Eh? Maksudnya luar biasa.

Bagi mahasaiswa yang katanya sebagai calon cendekiawan muda harus berfikir sesuai kaidah-kaidah berfikir yang sesuai dengan konsep yang ditetapkan. Tentunya dengan merujuk pada pengetahuan berfikir secara intelektual, empiris dan realitas. Berfikir secara inteletual harus merujuk pada ilmu-ilmu yang dapat dinalar akal. Harus menggunakan bahasa ilmiah secara filsafatik, sesuai konsep epistimologis, ontologis maupun aksiologis. Sudah tidak zamannya lagi jika seorang mahasiswa cendekiawan yang merupakan bagian masyarakat intelektual berbudaya tidak bisa mengekspresikan intelektual akalnya secara bebas. Kuno, ekstrim, ortodoks atau primordial-lah katanya jika tidak bisa berfikir secara bebas, jeli nan kritis ilmiah. Bahkan tidak hanya hal yang bisa difikir secara nalar saja yang dieksekusi, wahyu ilahi yang merupakan ekspresi dari sumber agama pun tak luput dari cengkrama indah intelektualitas  para mahasiswa cendekia ini. Ah, hebat sekali.

Tren atas nama kritis, ilmiah atauapun moderat memang menjadi sangat-sangat mengenyangkan dinalar oleh otak mahasiswa yang gandrung dengan bangganya. Contoh mudahnya saja ketika sedang melakukan seminar atau diskusi ilmiah zaman jadul tentang  kesetaraan gender atau mungkin juga tentang  emansisapi wanita yang tak habis habisnya, mereka berduyun-duyun berdatangan, mungkin tergabung dalam kelompok-kelompok mahasiswa pilihan nan cerdas dari berbagai fakultas, baik dari mahasiswa filsafat, fisipol, tehnik, Fai maupun yang lainnya. Tentunya dalam satu wadah diskusi sebut saja mungkin sekolah intelektual atau mungkin karena yang berdiskusi rata-rata orang islam diislamisasi dengan sebutan pesantren atau madrasah intelektual. Para pembaharu muda ini meneteskan pemikiran-pemikiran mereka dengan gigih, itu sudah pasti tentunya. Toh mereka adalah intelektual muda agen pembaharu masyarakat ilmiah yang berbudaya.

Dalam diskusi ini memang sangat menarik, apalagi ketika telah masuk pada sesi-sesi klimaks seperti pertanyaan-pertanyaan maupun tanggapan para audiens. Tentu banyak pikiran-pikiran bertebaran nan meng-egoisme beradu kecerdasan dan wawasan. Beragam komentar dan tanggapan tak terelakkan, pembantaian pendapat-pun tak terhindarkan. Para pemateri pun tak mau ketinggalan, mereka memaparkan argumen yang fonumenal memecah peraduan antar pikiran-pikiran yang beradu. Membendung egoisme pendapat yang berseliweran.  Tapi tidakkah kita berfikir bahwa terkadang pertanyaan-pertanyaan yang banyak nan rumit itu hanya wajah lain dari sebuah penolakan. Bukankah begitu?. Tentu ada yang iya ada yang tidak.

Akhirnya suasana ruanganpun pecah. Perbedaan dan egoisme menjadi barang yang sangat sensitif kala itu. Kendati suasana panas nan alot, tapi diskusi ini sebenarnya hanya menunggu penyelesaian diujung jarum jam. Terkadang penyelesaian dan konklusinya pun nyeleneh. Ada yang tuntas tapi tak ayal juga malah bingung tingkat tinggi kesimpulannya apa. Haha. Diakhiri dengan gelak tawa para peserta yang beradu argumen panas membendung asa. Tapi itulah realita. Saya tak habis fikir, apa hal-hal semacam ini hanya fantasi dan pemenuh hasrat intelektual ataukah bagaimana. Entahlah, mungkinkah inteletualitas yang dibungkus dengan plastik ilmiah hanya main-main saja sebatas tempat berkreasi manusia karena mereka punya akal. Oh tidak, sepertinya tidak mungkin seperti itu. Tapi entahlah, mungkin ada akalisasi dibalik persoalan kata  ilmiah, intelek, modernitas dan kawan-kawannya.

4 comments for "Akalisasi Intelektual atas Nama Ilmiah, Kritis dan Modernisasi"

  1. sebuah argument memang harus berdasarkan ilmu dan sumber yg kuat. tidak cukup dengan akal2an. trima kasih informasinya admin

    ReplyDelete