Corak Penafsiran Fikih dalam Tafsir Fiqh
Tafsir Fiqhi |
Pendahuluan
Al-Qur
’an diturunkan Allah kepada
umat manusia dijadikan sebagai hudan, bayyinah, dan
furqan. Al-Qur’an selalu dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek
kehidupan dan al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam. Agar fungsi
al-Qur’an tersebut dapat
terwujud, maka kita
harus menemukan makna firman Allah SWT saat menafsirkan al-Qur’an.
al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang
diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai
pemikiran dan penjelasan
pada tingkat wujud
adalah mutlak. Dengan demikian
ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi), baru, tidak pernah pasti dan
tertutup dalam interpretasi tunggal.
Tafsir
sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat
suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak
penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Spesialisasi yang
menjadi basis intelektual mufassir sangat mendominasi di abad
pertengahan karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan disiplin ilmu
pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Ini terjadi karena minat para mufassir
pada saat itu berpusat pada kepentingannya. Di sisi lain, ilmu yang berkembang
pada abad pertengahan bersentuhan dengan ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf,
ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat. Karena minat keilmuan ulama itu
berbeda-beda dan cenderung pada disiplin ilmu tertentu yang digunakan dalam
memahami al-Qur’an, bahkan beberapa diantaranya sengaja mencari dasar yang
melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an. Lalu muncullah berbagai tafsir
seperti tafsir fiqhi, tafsir t’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ‘ilmi, tafsir dan
tafsir falsafah. Bahkan sekarang ini masih berkembang seperti tafsir feminis
atau jender, hermeunetika dan lain sebagainya.[1]
A.
Pengertian Tafsir Fiqhi
Tafsir Fiqhi |
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk mengetahui penjelasan makna-makannya
serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir fiqih adalah corak tafsir yang lebih
menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan
cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat di antara imam
madzhab.[3]
Tafsir ini sering disebut tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam
karena tafsir ini lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an (ayat
al-ahkam).
Dahulu para sahabat di masa Rasulullah saw memahami al-Qur`an
dengan “naluri” kearaban mereka. Dan jika terjadi kesulitan dalam memahami
sesuatu ayat, mereka langsung menyakannya kepada Rasulullah saw dan beliau pun
lalu menjelaskannya kepada mereka.
Setelah Rasulullah saw wafat dan permasalahan-permasalahan baru
mulai muncul, maka mereka beristimbat dengan al-Qur`an untuk menetapkan
hukum-hukum syara’ bagi permasalahan baru tersebut. Mereka pun bersepakat atas
hal tersebut dan jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat
kontradiksi (dalam lafadz), seperti perselisihan mereka mengenai ‘idah
bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘idah itu
berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah waktu paling
lama diantara keduanya? Ini semua mengingat Allah berfirman: “Dan mereka
yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri, (hendaklah istri
itu) ber’iddah empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: 234), “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘idah mereka ialah sampai mereka
melahirkan kandungan mereka” (At-Thalaq: 4).[5] Sekalipun
hal ini jarang terjadi, tetapi ini merupakan awal permulaan perbedaan pendapat
di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat hukum.
Ketika tiba masa empat imam fiqh dan setiap imam membuat
dasar-dasar istimbat hukum masing-masing dalam madzhabnya, bebagai peristiwa
terjadi dan permasalahan-permasalahan pun semakin beragam, maka semakin
bertambah pula aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini
disebabkan perbedaan segi dalalahnya (petunjuknya), bukan karena fanatisme terhadap
suatu mazhab, melainkan karena setiap ahli fiqih berpegang pada apa yang
dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia
mengetahui kebenaran pada pihak lain, untuk merujuk kepadanya.
Keadaan tersebut tetap stabil sampai tiba masa taklid dan fanatisme
madzhab. Maka pada masa ini para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan
dan pembelaan madzhab mereka, sekalipun mereka harus membawa ayat-ayat
al-Qur`an kepada makna yang lemah dan jauh. Dan sebagai akibatnya maka muncullah
“Tafsir Fiqih” yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an. Di
dalamnya terkadang fanatisme madzhab menjadi semakin memuncak dan terkadang
pula mereda.
C.
Karakteristik
Dilihat dari pengertian dari tafsir fiqih dan contoh-contohnya,
kita dapat ketahui bahwa karakteristik dari tafsir ini adalah mengedepankan
penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum fiqih (ayat
al-ahkam), dan tidak jarang mengemukakan perbedaan pendapat para ulama
fiqih. Corak tafsir ini lebih sering menggunakan metode tafsir maudhu’i karena
terkadang mufasir hanya mengambil tema-tema tertentu yang berkaitan dengan
fiqih.
D.
Tokoh Tafsir Fiqhi dan Tafsirnya
Tafsir Fiqhi ini berusia sudah sangat tua karena kelahirannya
bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Quran. Banyak kitab tafsir fiqhi yang
telah disusun oleh ulama, antara lain:
1.
Ahkamul Qur’an al-Jashash, karya Abu Bakr Ahmad bin Ali Ar-Razi al-Jashosh (305-370H/917-980M)
2.
Ahkamul Qur’an Ibn Al-‘Arabi, karya Abu Bakr Muhammad bin Abdillah (468-543H/1075-1148M)
3.
Ahkamul Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasi (w. 405H/1058M)
4.
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an wal Muhayyin lima Tadhammanahu Mina
sunah wa Ayyil Qur’an, karya
Abi Abdillah Muhammad al-Qurthubi (w. 671H/1272M)
5.
Tafsir Fathul Qadr, karya
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani (1173-1250H/1759-1839M)
6.
Tafsir al-Maraghi, karya
Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373H-1881-1945M)
7.
Tafsir Ayatul Ahkam, karya
Muhammad Ali as-Sayis, Dosen Univ. Al-Azhar
E.
Pengaruh Perbedaan Mazhab Fiqih dalam Penafsiran
Tafsir Fiqhi |
Sebagaimana telah mafhum bahwa Al-Qur’an adalah Kitabullah yang
mengandung hukum-hukum syariat yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Di antara
hukum-hukum syariat tersebut adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah
dan muamalah, kedua ruang lingkup hidup tersebut saat ini dikenal dengan
istilah fiqh.
Para sahabat di masa Rasulullah memahami al-Quran dengan kearaban
mereka. Bila terjadi kesulitan dalam memahami suatu ayat, mereka kembali kepada
Rasulullah dan beliaupun menjelaskan kepada mereka. Setelah beliau wafat dan
para fukaha sahabat mengendalikan umat dibawah kepemimpinan para Khulafa’
Rasyidin serta banyak terjadi persoalan-persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam memahami persoalan-persoalan tersebut, para sahabat terkadang
berbeda-beda dalam menafsirkan suatu ayat sehingga terjadi perbedaan. Keadaan
demikain sekalipun jarang terjadi merupakan awal permulaan pendapat dibidang
fikih dalam memahami ayat-ayat hukum dalam al-Quran.[7]
Ketika tiba pada masa empat madzhab, setiap imam membuat
dasar-dasar istinbat hukum masing-masing dalam madzhabnya serta berbagai
peristiwa semakin banyak dan bercabang-cabang dalam memahami ayat. Hal yang
demikian ini disebabkan perbedaan segi dalalahnya, bukan karena fanatisme
madzhab. Melainkan karena setiap ahli fikih berpegang pada apa yang
dipandangnya benar.[8]
Para ahli fikih dari beberapa madzhab populer misalnya madzhabnya Imam Hanafi,
Imam Syafi’i, imam Maliki, Hanbali bahkan syiah memiliki metode tersendiri
dalam melakukan interpretasi hukum dan istinbat hukum. Dari hal inilah terjadi
perbedaan dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan mempengaruhi kerangka fikih
pengikut masing-masing madzhab.
Selanjutnya setelah datang masa taklid dan fanatisme madzhab maka
pada saat itu aktifitas para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan dan
pembelaan madzhab mereka.[9]
Mereka hanya melihat pada pemaparan imam-imam mereka sebagaimana mereka melihat
nash syariat, mereka menyepakati usaha para imam atas kegemilangan imam imam
mereka dan mempromosikannya.[10]
Bahkan karena terlalu fanatik dengan madzhabnya sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Karahi (340 H) –salah satu pengikut Abi Hanifah yang sangat fanatik-
berkata: Setiap ayat atau hadis yang menyelisihi pendapat kami maka harus
ditakwil atau di mansukh.[11] Dengan
berkembangnya pendapat-pendapat masing-masing madzhab tersebut maka berkembang
pula corak penafsiran fikih yang sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Akibatnya
muncullah tafsir fikih yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam al-Quran sehingga
muncul tafsir Al-Qur’an dengan corak penafsiran ala madzhab Hanafi, Syafi’i,
Maliki, Hanbali dan Syi’i.
F.
Contoh Tafsir Fiqhi
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh
Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang alim yang mumpuni dari kalangan
Maliki. Di dalam tafsirnya ini, al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada
ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Metode
tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya
ayat), mengemukakan ragam qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib,
menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus
bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip
dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya,
ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya
Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia
mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu
mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman
Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ
إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu” (Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat
ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang
yang akan makan siang hari di bulan Ramadhan karena lupa dan mengutip pendapat
Imam Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha. Ia mengatakan,
“Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang
makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang
siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya. Dan
puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum
karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya,
dan ia tidak wajib mengqadhanya,”.
Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan
lain. Misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para
filosof dan kaum sufi yang ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus.
Dan didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang
di serang oleh Ibn al-‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang
kasar dan keras terhadap ulama. Kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan
cara sopan dan terhormat. [12]
[2] Muhammad Ali ash-Shabuni, At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), hlm. 65.
[3] http://migodhog.blogspot.com/2012/04/corak-tafsir-fiqhi.html.
[5] Ini adalah perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dan Umar bin
Khaththab, Muhammad Husain adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah, tth), juz 2, hlm. 319
[6] Ahmad Izzan, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 200.
[7] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ululumil Quran, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2011), hlm. 516
[8] Ibid, hlm. 517
[9] Ibid, hlm. 517
[10] Muhammad Husain adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo:
Maktanah Wahbah. tth), jus 2, hlm. 320
[12] Manna Kahlil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Pustaka Listera
AntarNusa: Bogor, 2011), hal. 520-521.
Post a Comment for "Corak Penafsiran Fikih dalam Tafsir Fiqh"