Materi Kemuhammadiyahan Kelas 5 Semester II
MATERI KEMUHAMMADIYAHAN KELAS 5
SEMESTER 2
BAB III
Nama
: Raden Soedirman
Dikenal
: Jenderal Besar Sudirman
Lahir
: Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Wafat
: Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950
Orang
Tua : Karsid Kartawiraji (ayah), Siyem (ibu)
Saudara
: Muhammad Samingan
Istri
: Alfiah
Anak
: Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, Taufik Effendi, Titi Wahjuti Satyaningrum, Didi
Praptiastuti, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, Ahmad Tidarwono
Biografi Jenderal Sudirman
Jenderal
Besar Sudirman ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari
1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Namun ia
lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo yang
merupakan seorang camat setelah diadopsi.
Ayah
dan Ibu Sudirman merelakan anaknya diadopsi oleh pamannya karena kondisi
keuangan pamannya lebih baik daripada orang tua Sudirman sehingga mereka ingin
yang terbaik buat anaknya.
Masa Kecil
Di
usia tujuh tahun, Sudirman masuk di HIS (hollandsch inlandsche school)
atau sekolah pribumi. Ia kemudian pindah ke sekolah milik Taman Siswa pada
tahun ketujuhnya bersekolah. Tahun berikutnya ia pindah ke Sekolah Wirotomo
disebabkan sekolah milik taman siswa dianggap sebagai sekolah liar oleh
pemerintah Belanda.
Sudirman
diketahui sangat taat dalam beragama. ia mempelajari keislaman dibawah
bimbingan Raden Muhammad Kholil. Teman-teman Sudirman bahkan menjulukinya
sebagai ‘Haji’. Ia sering berceramah dan rajin dalam belajar.
Di
tahun 1934, pamannya Cokrosunaryo wafat. Hal ini menjadi pukulan berat bagi
Sudirman. Ia dan keluarganya jatuh miskin. Meskipun begitu ia diperbolehkan
tetap bersekolah tanpa membayar uang sekolah hingga ia tamat menurut Biografi
Jenderal Sudirman yang ditulis oleh Sardiman (2008).
Di
Wirotomo pula, Sudirman ikut mendirikan organisasi islam bernama Hizbul Wathan
milik Muhammadiyah. Beliau juga menjadi pemimpin organisasi tersebut pada
cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo. Kemampuannya dalam memimpin dan
berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia dihormati oleh
masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara
sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya
masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal.
Setelah
lulus, ia kembali belajar di Kweekschool, sekolah khusus calon guru milik
Muhammadiyah pada zaman Hindia Belanda. namun berhenti karena kekurangan biaya.
Sudirman kembali ke Cilacap dan mulai mengajar di sekolah dasar Muhammadiyah.
Disini pula ia bertemu dengan Alfiah, temannya sewaktu sekolah yang
kemudian mereka menikah. Di Cilacap, Sudirman tinggal di rumah mertuanya yang
bernama Raden Sostroatmodjo seorang pengusaha batik kaya. Selama mengajar di
sekolah tersebut, beliau juga aktif dalam perkumpulan organisasi pemuda
Muhammadiayah.
Setelah
Jepang berhasil menduduki Indonesia pada tahun 1942. Perubahan kekuasaan mulai
terlihat. Jepang menutup sekolah tempat Sudirman mengajar dan
mengalihfungsikannya menjadi pos militer. Meskipun begitu Sudirman melakukan
negosiasi dengan Militer Jepang. Ia kemudian diizinkan kembali mengajar walaupun
kala itu perlengkapannya sangat dibatasi.
Di
tahun 1944, Sudirman menjabat perwakilan di dewan karesidenan yang dibentuk
oleh Jepang. Dan tak lama kemudian Sudirman diminta untuk bergabung dalam
tentara PETA (Pembela Tanah Air) oleh Jepang.
Masuk di Militer
Ketika
pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor yang
begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi
Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi
Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI).
Ia
merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya
sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat
sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini. Setelah
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan, kekuatan militer Jepang di
Indonesia mulai melemah. Sudirman yang ketika itu ditahan di Bogor mulai
memimpin kawan-kawannya untuk melakukan pelarian.
Sudirman
sendiri pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta. Kedua
proklamator tersebut meminta Sudirman memimpin pasukan melawan Jepang di
Jakarta. Namun ditolak oleh Sudirman. Ia memilih memimpin pasukannya di Kroya
pada tahun 19 agustus 1945.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah mendirikan BKR (Badan Keamanan
Rakyat) dan melebur PETA kedalamnya. Sudirman bersama tentaranya kemudian
mendirikan cabang BKR di Banyumas. Ia memimpin masyarakat disana dalam melucuti
persenjataan tentara Jepang.
Presiden
Soekarno kemudian membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dimana personilnya
berasal dari mantan KNIL, PETA dan Heiho. Ketika itu Soekarno menunjuk Supriyadi
sebagai panglima TKR. Namun ia tidak muncul.
Inggris
yang ketika itu mendarat di Indonesia bersama dengan NICA mulai mempersenjatai
tentara Belanda dan mendirikan pangkalan di Magelang. Sudirman yang kala itu
menjabat sebagai kolonel mengirim pasukan untuk mengusir Inggris serta tentara
Belanda di Ambarawa. Oleh Urip Sumoharjo, Sudirman ditunjuk sebagai kepala
divisi V.
Diangkat Sebagai Panglima TKR
Pada
tanggal 12 November 1945, Sudirman yang kala itu berumur 29 tahun terpilih
sebagai pemimpin TKR. Sudirman kemudian dipromosikan sebagai seorang Jenderal.
Ia juga menunjuk Urip Sumoharjo sebagai kepala staf TKR. Walaupun begitu ia
ketika itu belum secara resmi dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala
TKR.
Agresi Militer Belanda
Ketika
pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang,
ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat
pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR
yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa.
Dan
pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak
terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari
itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang. Pada saat
pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan
Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota
Jakarta sebelumnya sudah dikuasai.
Jenderal
Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat
lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi
Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung
Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat
keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk
tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak
bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada
Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Melakukan Perang Gerilya
Maka
dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya.
Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke
hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali
sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu
memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya.
Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin
Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Jenderal Sudirman Wafat
Penyakit TBC yang menggerogoti Jenderal Sudirman kala itu kian parah. Beliau rajin memeriksakan diri di rumah sakit Panti Rapih. Disaat itu juga, Indonesia sedang dalam negoasiasi dengan Belanda menuntuk pengakuan kedaulatan Indonesia. Jenderal Sudirman kala itu jarang tampil karena sedang dirawat di Sanatorium diwilayah Pakem dan kemudian pindah ke Magelang pada bulan desember 1949.
Belanda
kemudian mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 desember 1949 melalui
Republik Indonesia Serikat. Jenderal Sudirman saat itu juga diangkat sebagai
Panglima Besar TNI.
Menurut
biografi jenderal Sudirman, Diketahui setelah berjuang keras melawan
penyakitnya, Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar Sudirman wafat di
Magelang. Pemakamannya ke Yogyakarta diiringi oleh konvoi empat tank serta 80
kendaraan bermotor.
Pemakaman Jenderal Sudirman
Masyarakat
kala itu tumpah ruah ke jalan memberikan -penghormatan terakhir ke Panglima
Sudirman. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Pemakamannya dilakukan dengan prosesi militer. Beliau dimakamkan disamping
makam jenderal urip Sumoharjo. Jenderal
Sudirman kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Jabatan di Militer:
• Panglima Besar TKR/TNI, dengan
pangkat Jenderal Besar Bintang Lima
• Panglima Divisi V/Banyumas, dengan
pangkat Kolonel
• Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan:
• Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Sifat-sifat Keteladanan Jendral Sudirman
1.
Ketaatan terhadap Agama
2.
Rela berkorban
3.
Gigih dalam usaha
4.
Amanah dan Bertanggungjawab
5.
Cerdas
6.
Jiwa Sosial
BAB IV
KH. ABDUL ROZAQ FACHRUDDIN
BIOGRAFI KH. AR FAHRUDDIN
Pengalaman indekos di Jalan Cik Ditiro 19 A, Yogyakarta,
puluhan tahun silam masih berkesan dalam ingatan Syaifuddin Simon (58 tahun).
Ia tak pernah menyangka sosok bersahaja yang menjadi bapak kosnya ternyata
salah satu tokoh penting di Tanah Air.
“Pak A.R itu orangnya sangat, sangat, sangat
sederhana,” kata Simon, mantan jurnalis yang pernah bekerja di Republika,
saat menceritakan pengalamannya kepada Tirto, Selasa
(23/5/2017).
Abdul Rozak (A.R) Fachruddin memang lebih akrab
disapa Pak AR. Kata “sangat” yang diulang Simon sampai tiga kali menjelaskan
banyak hal soal sikap hidup Pak AR.
Lahir di Pakualaman Yogyakarta pada 14 Februari
1916 dari pasangan K.H. Fachruddin dan Maimunah binti K.H. Idris Pakualaman,
Pak A.R mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk memajukan umat Islam melalui
organisasi Muhammadiyah.
Di Muhammadiyah, Pak A.R bekerja dari bawah. Ia
pernah menjadi guru di sepuluh lebih sekolah Muhammadiyah, menjadi Ketua Pemuda
Muhammadiyah, ketua ranting, ketua cabang, ketua wilayah, hingga akhirnya
menjadi Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pak A.R tercatat sebagai
pemimpin PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968-1990). Jabatan itu dia
emban berdasarkan usul Buya Hamka setelah wafatnya K.H Fakih Usman yang
merupakan Ketua PP Muhammadiyah tersingkat dalam sejarah.
"Dalam Muktamar ke-38 tahun 1968 di
Yogyakarta diputuskan bahwa Fakih Usman diangkat menjadi Ketua PP Muhammadiyah,
meskipun yang memperoleh suara terbanyak adalah A.R Fachrudin. Kepemimpinan
Fakih Usman hanya berlangsung sekitar sepekan—ini merupakan kepemimpinan yang
paling singkat dalam sejarah Muhammadiyah—karena beliau meninggal,"
seperti dilansir dari 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan
Sosial Keagamaan.
Menjadi orang nomor satu dan terlama di
Muhammadiyah tidak lantas mengubah gaya hidup Pak A.R. Kemana-mana ia lebih
suka mengayuh sepeda atau mengendarai motor Yamaha bututnya. Motor keluaran
tahun 1970-an itu merupakan pemberian pengusaha batik bernama Prawiro Yuwono
yang tidak tega melihat orang penting di Muhammadiyah berdakwah ke berbagai
daerah hanya menggunakan sepeda.
“Motor itu dia pakai sampai komponennya rusak,
butut, olinya berceceran,” ujar Simon.
Suatu hari dalam perjalanan menuju Pajangan,
Bantul, motor Pak A.R mogok. Ia lantas menuntun motornya ke bengkel yang
lumayan jauh. Tiba-tiba saja Pak A.R bertemu salah seorang kenalannya.
“Lho, Pak, kok motornya dituntun?” tanya
kenalannya itu.
Mendengar pertanyaan itu Pak A.R menjawab
enteng: “Kalau tidak dituntun takut nanti ngamuk.”
Tawaran berkendara enak dan nyaman bukannya
tidak ada. Awal dekade 1980-an, perwakilan PT Astra datang menawarkan mobil
Toyota Corolla DX keluaran terbaru secara cuma-cuma. Namun, Pak A.R menolak.
Alasannya sederhana saja, ia tidak bisa menyetir dan ogah direpotkan dengan
urusan perawatan.
“Mobil kalau [Pak A.R] mau banyak yang kasih,
tapi dia tidak pernah mau,” ujar Simon.
Pak A.R sempat berjualan bensin eceran di depan
rumah yang dipinjami Muhammadiyah demi menambah biaya kuliah anaknya. Bisa
dibayangkan, pemimpin organisasi sebesar Muhammadiyah, memimpin selama lebih
dari dua dekade, berjualan bensin eceran untuk mendapatkan pemasukan.
Ia menolak dikasih uang untuk ceramah. Kalau pun
terpaksa harus menerima, uang itu sepenuhnya akan dibagikan ke para pegawai
Muhammadiyah yang belum sejahtera.
Sekali waktu Pak A.R pernah coba membeli rumah
tetapi uang muka dan cicilan yang telah dibayarkan malah dibawa kabur
pengembang. Hingga akhir hayatnya Pak A.R tidak pernah memiliki rumah sendiri.
“Aneh tidak kalau zaman sekarang?” tanya Simon
dengan nada retoris.
Meski melakoni hidup dengan kesederhanaan Pak
A.R memiliki pergaulan luas. Teman-temannya berasal dari berbagai kalangan.
Mulai dari tukang becak, intelektual, budayawan, menteri, hingga presiden.
Simon mengatakan Gus Dur kerap datang berkunjung ke kediaman Pak A.R bila ingin
membicarakan masalah-masalah nasional.
“Karena Pak A.R orang Muhammadiyah yang paling
dekat dengan Pak Harto,” kata Simon.
Sekali waktu usai shalat subuh berjamaah dengan
anak-anak kosnya, Pak A.R bercerita bahwa dirinya baru saja mengirim surat
kepada Presiden Soeharto. Isi suratnya singkat, tentang rencana Muhammadiyah
mendirikan universitas di Yogyakarta.
“Pak Harto, Muhammadiyah bade bangun
universitas, menawi kerso monggo,” kata Simon menirukan ucapan Pak
A.R mengenai isi surat yang dikirim ke Soeharto.
Simon menilai isi surat Pak A.R kepada Soeharto
sangat diplomatis. Sebab di dalamnya tidak ada kata atau kalimat meminta
bantuan, tetapi justru lebih berupa tawaran ikut membantu. Dan benar saja,
selang seminggu surat itu dikirim, telepon berdering dari pihak Soeharto.
“Ternyata ada cek beberapa ratus juta. Waktu itu
uang segitu besar sekali,” ujar Simon.
Gaya Dakwah
Suatu hari pengurus masjid di sekitar kawasan Poncowinatan dekat
Malioboro datang ke kediaman Pak A.R. Mereka kebingungan lantaran ada salah
satu donator masjid dari keluarga non-Muslim ingin jenazah ayahnya disalatkan
sebelum dikubur.
Mendengar cerita ini Pak A.R bergegas datang ke
lokasi. Setibanya di lokasi Pak A.R memerintahkan pengurus masjid memasukkan
peti mati jenazah si non-Muslim. Ia meminta peti jenazah diletakkan di sisi
ruangan masjid. Setelah itu Pak A.R mengajak jamaah melaksanakan shalat Ashar
berjamaah.
Usai shalat anak almarhum bertanya kepada Pak
A.R mengapa peti mati ayahnya tidak diletakan di depan orang salat seperti saat
orang Islam meninggal. Pak A.R menjawab: “Yang di depan, kan, orang Islam.
Kalau non-Muslim diletakkan di samping. Ini cara kami menghormati dan
mengistimewakan tamu.”
Penguasaan ilmu agama yang mendalam justru
mematangkan pribadi Pak A.R. Cara dakwahnya sejuk dan mengajak. Bukan
menghakimi apalagi memusuhi. Wajar ceramah-ceramah Pak A.R yang disiarkan TVRI
Yogyakarta tidak hanya didengar oleh umat Islam tapi juga non-Muslim.
“Pak A.R kalau ada undangan ceramah dari
masyarakat kecil dan dari orang kaya, yang diutamakan datang ke masyarakat
kecil. Kebalikan dengan [penceramah] zaman sekarang,” ujar Simon.
Di akhir kepengurusan Pak A.R pada tahun 1989,
Muhammadiyah untuk pertama kalinya membuat terobosan bekerjasama dengan bank
dalam rangka penataan administrasi keuangan dan konsolidasi organisasi. Bank
Rakyat Indonesia (BRI) dipilih karena dinilai lebih bermaslahat.
“Kerja sama dengan bank untuk pertama kalinya
ini merupakan langkah yang berani karena di lingkungan umat Islam masih
terdapat perbedaan pendapat tentang kehalalan bank, terutama berkaitan dengan
riba dan bunga bank,” 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan
Sosial Keagamaan.
Pak A.R Wafat
Jumat 17 Maret 1995 kabar duka
datang dari Rumah Sakit Islam Jakarta: Pak A.R wafat. Ia pergi setelah
mengalami perawatan intensif selama tiga pekan karena komplikasi penyakit
vertigo, pembengkakan jaringan, dan leukemia.
Presiden Soeharto, Menteri Agama Tarmizi Taher,
Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, Ketua Umum DPP PPP Ismail Hasan Metareum, Ketua
PP Muhammadiyah sempat melayat ke rumah sakit. Jenazah Pak A.R kemudian dibawa
ke Masjid Istiqlal. Di sana, ribuan umat Islam sudah menanti untuk menshalatkan
jenazahnya.
Presiden Soeharto memesan khusus sebuah pesawat
Hercules untuk membawa jenazah Pak A.R ke kampung halamannya Yogyakarta. Di
Masjid Besar Kauman Keraton Yogyakarta ribuan umat Islam juga sudah berkumpul.
Meluber ke sisi barat alun-alun depan keraton.
“Ini peristiwa langka,” kata sejarawan
Universitas Gadjah Mada Djoko Suryo seperti diberitakan Harian Republika.
Amien Rais dalam sambutan atas nama keluarga dan
Muhammadiyah mengatakan Pak A.R pergi meninggalkan tiga warisan: kesederhanaan,
kejujuran, dan keikhlasan. Jenazah Pak A.R dikebumikan di Pemakaman Umum Karang
Kajeng berderet dengan pendiri Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan.
Di bawah matahari yang redup dan gerimis kecil,
pekik takbir pelayat mengiringi perjalanan Pak A.R ke rumahnya yang abadi.
Post a Comment for "Materi Kemuhammadiyahan Kelas 5 Semester II"