Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jangan jadi Guru !, Jadilah Pembelajar


Pahlawan tanpa tanda jasa. Itu ungkapan usang yang dibuat dan disematkan kepada guru. Di negara hijau seperti negara Indonesia yang gemah ripah loh jinawe, guru bukan jadi profesi kebanggaan serta tidak pula didambakan. Kecuali hanya sebagian masyarakat saja yang menganggap setiap guru adalah PNS yang pasti sejahtera. Ini anggapan orang tua saya dulu di kampung.

Menjadi guru tidak cuma menghabiskan tenaga, perasaaan hati serta jiwa. Semua dikerahkan untuk mengabdi pada negeri. Tidak proporsional dengan pendapatan maupun penghargaan yang diberikan, guru dituntut banyakhal tentang cita- cita bangsa, yaitu mencerdaskan anak bangsa.

Tidak heran siswa-siswi sekolah bila ditanya ingin jadi apa nanti. Sering yang tidak menginginkan jadi  guru nanti, terutama orang kota atau yang sudah memahami tentang gaji guru yang sebenarnya. Branding serta framing guru memanglah sangat kurang baik di negara ini. Bukan kurang baik selaku teladan, namun kurang baik selaku profesi yang sempurna buat mengalami banyak himpitan ekonomi.

Hari ini seakan kita tidak ingat tentang tujuan pembelajaran yang dicanangkan oleh founding father bapak pendidikan Indoneisa. Tujuan pendidikan itu memerdekakan manusia, katanya. Tampaknya orang yang sangat tidak merdeka sekarang ini adalah para guru yang gajinya saja pas-pasan untuk menghidupi keluarga serta meneruskan pembelajaran yang lebih baik untuk anak- anaknya.

Dengan jam mengajar yang lumayan padat, pendapatan tidak sebanding dengan jadwal dan pekerjaan yang membutuhkan banyak waktu dan menguras akal pikiran. Bahkan pengalaman pribadi ketika bercerita tentang gaji teman yang menjadi buruh bangunan lepas dalam sehari bisa mendapatkan gaji Rp. 250.000. Jika dikalikan dalam sepekan maka Rp. 1.500.000 rupiah telah didapat hanya dengan mengandalkan kekuatan otot dan tidak terlalu pusing dengan memikirkan seambrek RPP yang banyak menyita waktu dan seolah hanya sekedar administratif.

Dapatkah kita katakan kalau guru honorer sejahtera di tengah bayangan resesi yang menyerang negara?

Lalu bila masih ada pertanyaan yang mengganjal hati, apakah ada hubungannya kesejahteraan guru dengan mutu pembelajaran? Saya kira pertanyaan ini sangat dangkal serta tidak butuh dipertanyakan. Alasannya kedudukan guru pada aktivitas mencerdaskan bangsa bukan saja berarti, apalagi jadi fondasi peradaban.

Dengan tidak menyejahterakan peranan primer dalam tugas mulia mencerdaskan bangsa, dalam perihal ini negeri tidak turut serta mewujudkan mutu pembelajaran yang mencukupi. Menjadikan guru seolah profesi taraf rendahan yang direpresentasikan lewat rendahnya penghargaan serta penghormatan negeri terhadap profesi ini, membuat profesi guru enggan diidamkan serta semakin tidak didambakan oleh generasi muda.

Perihal ini pasti dalam jangka panjang menimbulkan jumlah guru yang menyusut, rasio antara guru serta murid yang pula turut melebar, sampai suatu saat terjadi krisis sumber energi manusia dalam tenaga pengajar/ pendidik yang berdampak pada signifikansi penyusutan mutu pembelajaran di Indonesia.

Setelah itu apabila merujuk pada equity theory of motivation, dikatakan kalau mewujudkan keseimbangana antara kontribusi yang diberikan oleh seseorang pekerja dengan penghargaan yang dia dapatkan akan menciptakan motivasi kerja. Hal ini berjalan secara simultan bersamaan dengan tingkatan peningkatan pendapatan pula.

Hari ini kita melihat bahwa dedikasi yang diberikan guru tidaklah sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh pemerintah dengan locus yang lebih makro sehingga membuktikan secara seksama manifestasi rendahnya motivasi yang diberikan oleh pemerintah, sehingga berdampak pada performa para guru dalam mengajar secara akumulatif memberikan efek secara tidak langsung pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Para guru dibuat sibuk mencari tambalan penghidupan lewat kerja sambilan, fokus mereka yang seharusnya secara optimal mendidik murid-muridnya kini dialihkan pada aktivitas ekonomi lainnya. Ketika kebutuhan ekonomi tidak mencukupi maka satu-satunya jalan dengan cara demikian. Namun demikian disebagian lembaga aktifitas mencari tambahan penghidupan dimana lembaga tersebut tidak bisa memberikan kesejahteraan yang memadai masih saja dipersulit. Terkadang ada pelarangan, dikucilkan, dicibir dengan ucapan-ucapan "ngoyo", "tidak loyal" dan lain sebagainya.

Maka dari refleksi tulisan ini setidaknya mengantarkan seberkas peringatan yang menjadi perhatian bersama khusus nya pada pemerintah yang sampai saat ini perhatiannya terhadap pendidikan belum menjadi prioritas.

Jika pendidikan yang dilahirkan dari sistem negara ini belum cukup melahirkan kesejahteraan, maka tentu harus kembali lagi kita renungkan sebetulnya apa yang salah dari upaya kita sampai saat ini?

Post a Comment for "Jangan jadi Guru !, Jadilah Pembelajar"