Menebeng Kesuksesan Orang Lain?
Sebuah kewajaran ketika seseorang membutuhkan orang lain dalam
segala hal. Jika dia sudah berusaha dan ternyata tak mampu sehingga meminta
bantuan orang lain itu adalah hal manusiawi dan tentunya wajar sekali. Namun
ketika ada orang yang sebetulnya mampu berusaha dan kenyataannya ada kemampuan
berupa materi atau non-materi tapi masih saja meminta bantuan orang lain ini
sudah mulai agak wajar.
Ketika Mampu Meraih Kesuksesan Sendiri Mengapa Harus Menebeng Kesuksesan Orang lain untuk Meraih Kesuksesan Sendiri?
Yang lebih parah lagi, ketika dia mampu berusaha baik secara materi
atau non-materi, kemampuan fisik/akal serta ada semangat untuk mewujudkan
kesuksesan/keberhasilannya namun tidak mau memanfaatkan instrumen-instrumen
yang dibutuhkan untuk meraih keberhasilan untuk dirinya sendiri tersebut. Tapi
justru membuntutin cara orang lain dalam menggapai kesuksesan untuk dirinya sendiri
ini sangat tidak wajar. Kalimat sederhananya adalah menebeng orang lain dalam
meraih kesuksesan untuk meraih kesuksesannya sendiri.
Mengapa bisa terjadi? Apa penyebabnya? Entahlah. Hanya oknum-oknum
atau pelakunya yang mengetahui alasannya. Apakah ada orang-orang seperti ini?
Jelas ada, karena realitanya demikian. Yang namanya manusia itu bermacam-macam
dan setiap kepala mempunyai isi yang berbeda-beda. Bisa jadi dipengaruhi
kondisi semasa kecil, lingkungan keluarga atau teman, kejiwaan yang ‘kurang stabil’,
atau bahkan memang mati rasa malu dan takut.
Pada prinsipnya seorang muslim dituntut untuk memiliki rasa malu
yang tinggi. Bukan berarti rasa malu yang tinggi adalah rasa malu yang
berlebihan, akan tetapi rasa malu yang didasar atas dasar iman dan kebaikan,
rasa malu yang sewajarnya bukan yang dibuat-buat. Rasa malu bukan berarti
seseorang tidak boleh minta pertolongan atau bantuan orang lain. Akan tetapi
rasa malu yang sewajarnya. Bukankah Rasulullah pernah menasehati para
sahabatnya untuk memiliki rasa malu? Al-haya’u minal iiman.
Bukankah hal ini sama saja dengan meminta-minta? Coba kita lihat
secara seksama. Kalau seseorang ingin makan, sedangkan dia adalah orang yang
sehat secara fisik dan rohani namun tanpa alasan yang teapat ia meminta-minta
maka sungguh benar ia telah merendahkan wibawa dan martabatnya sendiri. Begitu
juga dengan hal ini, ia telah menurunkan wibawa dan martabatnya sendiri.
حَدَّثَنَا مُوسَى حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا
هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ
حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ
اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ
مَنَعُوهُ
(BUKHARI):
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah
menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Az Zubair bin Al 'Awam
radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh seorang dari kalian yang
mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan
punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu
lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu
memberinya atau menolaknya".
Post a Comment for "Menebeng Kesuksesan Orang Lain?"