Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membangun peradaban Berawal dari Titik dan Koma


Hari itu mulai awal perdamaian dengan waktu bagi seorang pejuang skripsi. Wajahnya separuh berkeringat dingin membasahi dahi yang kering. Mulutnya ragu, tapi mau berucap. Sedikit bergetar diringi retakan-retakan suara parau, “Ibu, cuma titik koma apa masalahnya?”. Seorang wanita paruh baya* dengan dandanan yang cukup eksotik namun nampak elok untuk kalangan mereka. Dengan mata yang dibungkus dengan lapisan kaca yang mengkilap dari semburat cahaya lampu neon dan ketebalan ukuran yang pas. Bibirnya tersenyum simpul, mulutnya bergeming, berkomat-kamit sedang mengeluarkan sepucuk mantra yang ampuh. Disaat mantra sedang terucap tajam menghempaskan point-point luhurya, terseliplah untaian hikmah dari sang piloshoper tua dibelakangnya. 
 
“Nak, Membangun peradaban Berawal dari Titik dan Koma”—Buya Syafi’i Ma’arif

Luar biasa. Jatuh berdebam bukan main sang anak pejuang skripsi. Mulutnya tak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya bisa mengulangi kata-kata luhur dari seorang wanita paruh baya tersebut “Membangun peradaban Berawal dari Titik dan Koma”.

Bagaimana bisa? Matanya menatap kosong. Kepalanya menggeleng-geleng seakan tidak menerima kenyataan itu, wajahnya mulai busam dan nafasnya naik turun dikuti irama dengkuran yang sedikit halus. Akhirnya wanita separuh baya tersebut bergeming seraya tersenyum menyunggingkan sedikit gigi serinya. Tersenyum puas seakan menikmati kebingungan anak pejuang skripsi yang dilanda kebingungan setengah pusing.

Begini nak, kehidupan itu ibarat sebuah kalimat dan tentunya peradaban itu berawal dari sebuah proses kehidupan yang lama bukan. Dalam sebuah kalimat tentu tidak hanya untaian kata-kata yang berurutan tanpa ada batasan-batasan. Untuk dapat memahami sebuah kalimat yang baik maka harus dipahami sesuai dengan tanda bacanya, termasuk titik dan komanya. Apabila sebuah kaliamat dibaca asal-asalan tanpa memperhatikan adanya titik ataupun koma, maka makna kalimat tersebut akan menjadi rancu dan kabur.

Filosofi dari ucapan wanita separuh baya ini adalah dalam kehidupan ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Ibarat tanda koma adalah sebuah harapan, peluang, dan bisa juga suatu alasan. Selayaknya harapan, padanya masih terbuka kesempatan berpikir dari banyak kemungkinan dan kesempatan untuk merancang atau melanjutkan langkah kedepan. Sedangkan titik, salah satu fungsinya adalah sebagai tanda berakhirnya suatu kalimat. Jadi titik tentunya sangat berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih pasti dan biasanya menjadi akhir dari suatu kesimpulan. Di dalamnya tidak ada keraguan, tanpa ada kebimbangan, hanya ada kepastian.

Layaknya kehidupan ini, sudah sepantasnyalah kita terus berupaya dan berjuang dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Tak pernah ada manusia yang sempurna, yang ada hanyalah manusia yang senantiasa “berproses” untuk mengarah kearah kesempurnaan. Maka jangan pernah berhenti dalam satu titik, ketika kita belum yakin dengan apa yang kita perjuangkan. Jangan pernah berhenti pada satu titik, ketika kita belum cukup mampu membuktikan apa yang ingin kita buktikan. Tak perlu takut untuk menempatkan beberapa koma, jika memang itu dibutuhkan demi mencapai suatu titik. Jadi, tempatkanlah dengan tepat beberapa koma dalam kalimat kehidupanmu. Maka dapat dipastikan kalimat kehidupanmu akan berakhir pada satu titik sempurna yang penuh makna. Namun disaat kita keliru dalam menempatkannya, dipastikan kalimat kehidupanmu akan berakhir pada sebuah titik yang penuh kehampaan.
 
Untuk bisa menempatkan suatu titik yang tepat, kita harus memiliki keyakinan penuh, bahwa apa yang kita cita-citakan dan apa yang kita perjuangkan benar-benar memiliki manfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. Yang paling penting tidak bertentangan dengan kaidah agama yang kita anut. Jadi jangan sampai keberhasilan yang kita capai ternyata masih dapat merugikan pihak lain dan melanggar kaidah agama, dikarenakan kurangnya faktor penunjang kelengkapan yang diibaratkan sebagai koma, misalnya kurangnya bukti akurat, minimnya ilmu yang kita miliki dan sebagainya. Hidup ini tidak pernah berdiri sendiri, akan tetapi akan selalu bersinergi dengan yang lain. Kita tentunya sangat berharap, bila titik kehidupan kita adalah baik dan kelak akan menjadi bekal tuk mencapai titik akhir dari kehidupan kita, yaitu Kematian.

Kembali lagi untuk membangun peradaban perlu adanya kumpulan-kumpulan jeda dan kepastian yang teguh dan proporsional. Untuk itulah perlu adanya prosporsi yang pas dan akurat dari penempatan titik dan koma dalam kehidupan dan khususnya dalam tulisanmu nak. Sebagaimana aturan titik dan koma tadi. Kumpulan tersebut akan bersatu dan berproses dalam kehidupan yang nantinya akan membuat pola tersendiri menjadi sebuah peradaban yang besar. Maka, kelak akan berdirilah sebuah peradaban yang dimulai dari sesuatu yang kecil berawal dari titik dan koma akan terbangun sebuah peradaban.

Post a Comment for "Membangun peradaban Berawal dari Titik dan Koma"