Tragedi Kentut Pintar # bagian l
Tragedi Kentut Pintar |
Detik berlalu menghambat peredaran darahku yang entah
kenapa tiba-tiba berhenti begitu saja. Membuat nafasku sesak karena peredaran
darah tidak beredar secara normal.
Membayangkannya saja aku tak mampu. Entahlah, aku tidak kuasa benar.
Bagaimana kalau dia tahu aku dalam keadaan memalukan seperti ini. Memalukan
sekali. Wajah memerah hanya karena tak sanggup menahan debaran perasaan saja.
Ah, tidak tidak. Ini hanya perasaan saja. Aku harus memastikannya. Tapi, kenapa
dia melihatku? Ah, semoga dia tidak tahu.
Padahal sebagai perempuan, Aku harus bersikap anggun,
lembut dan mempesona. Perempuan harus terlihat kalem. Aku harus menjiwai
seluruh pergerakanku. Tak sempurna jikalau hanya menodongkan sikap kalem, tapi
harus juga anggun dan menawan. Termasuk menawan hatinya.
Saat itu kelas kita hanya dihuni beberapa orang.
Entahlah, aku tidak tahu mereka satu persatu, tapi hanya sebagian saja, ada
rifki, ada denis, ada rahma, fara, elsa, anna. Cuma itu yang aku kenal karena
dari akademi yang sama dulu sejak SMA.
Saat ini memang masa kuliyahku yang pertama, jadi tak
banyak teman yang kudapat. Hanya beberapa orang, itupun yang sejak dulu aku
kenal. Aku termasuk wanita yang pendiam. Tidak banyak omong, tidak banyak
bicara. Kalau ingin berbicara hanya sebatas keperluan saja. Sebagai manusia
biasa aku pun layaknya teman-teman lain. Bisa sedih dan bahagia. Tapi bahagia
ala aku pun tak perlu diungkapkan dengan simbol-simbol seperti tertawa lebar
dan ngobrol sendiri menebar obrolan hanya supaya temanku tahu kalau aku
bahagia. Tidak, aku bukan tipe orang seperti itu.
Layaknya manusia lain, aku pun jatuh cinta, akupun merasa
suka pada lawan jenis. Tapi itu hanya sebatas hati saja. Tak mampu rasanya
getaran hati itu mengungkap lidah untuk meresonansi getaran hati. Lidahku itu
tak seperti lidah teman-temanku yang biasa mengumbar geteran perasaan mereka
kepada orang lain. Tapi aku beda. Aku tak bisa seperti itu. Inilah aku, ya,
inilah aku.
Saat itu, Aku merasa ada mata-mata yang mengintai aku di
kampus. Entah itu di kantin, di parkiran bahkan di kelas. Entah siapa, tapi
perasanku mengatakan seperti itu. Entah itu hanya perasaanku saja ataukah
memang seperti itu. Tapi setahuku secara psikologis memang seperti itu. Ketika
kita di mata-matai atau diintai oleh orang lain, secara refleks kita pasti akan
tahu. Entah itu melalui perasaan atau hanya sekedar lintasan otak. Sepereti
djavu.
Aku masuk ke kantin dan memesan seporsi makanan untuk
makan siang, tentu saja aku lapar. Dari tadi pagi aku tidak makan. Entah ada
kilat menyambar atau tidak, entah ada guntur yang bedendang atau tidak. Saat aku
mengangkat nampan tempat seporsi makanan mau kuangkat. Sebuah tangan mengenai
nampanku dan tiaar, suara bunyi pecahan mangkuk berserta seluruh isi nampan
berjatuhan.
“Ah maaf ukhti,,maaf. Sekali lagi maaf. Biar Ana yang
bersihin.” Ukhti duduk saja, biar ana nanti yang pesankan lagi. Sekali lagi ana
minta maaf atas kejadian ini.
Betapa kagetnya aku ketika melihat ini. Wajahku merah
merona, bukan..bukan karena marah, tapi karena malu. Bukan..bukan. Bukan malu
karena nampan saya jatuh berdebam ke lantai, tapi orang yang bertatapan
denganku tadi yang membuatku malu. Tanpa berfikir panjang aku langsung duduk di
bangku pojok.
Bersambung........
kok kayak cerita tentang aku zi...haha
ReplyDelete@annisa namasaya ah, bukan..bukan..ini bukan kisahmu dan lelaki itu bukan aku..
ReplyDeletekejadian dan peristiwa dalam cerpen ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, waktu dan tempat itu hanya sebuah kebetulan. wkwk
ikuti tulisan selanjutnya ya..cerbung yang nggak nyambung-nyambung..hehe
ahaha...
ReplyDeleteyaya ditunggu....