Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dan Kami pun Masukkan, Dalam Daftarmu !

Orang yang beragama itu orang yang sungguh berani.  Hanya orang-orang yang berkukuh dan intens dalam menyelami indahnya islam yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Memang hal ini bukan hal yang aneh tapi ini memang realita. Mereka berani mempertaruhkan segalanya. Yah, segalanya. Semua yang di miliki. Jiwa, harta bahkan nyawa-pun tak masalah. Dalam kenyataannya orang yang sudah tercelup sibghah islam secara utuh mereka cenderung mempunyai semangat dan mental baja. Mereka mempunyai kemampuan yang bukan hanya sebatas kemampuan orang-orang biasa. Mereka mempunyai kharisma mistik yang luar biasa yang entah dari mana datangnya. Yang pasti keajaiban-keajaiban selalu berjalan berkelindan mengitarinya.

Jika anda perhatikan judul di atas sungguh terlihat aneh dan entah apa penilaian anda. Kalimat itu memang bukan bahasa kalimat sekarang, tapi kalimat lama. Cukup sulit memberikan makna dalam judul di atas. Mungkin karena kalimatnya yang rancu dan kurang pas. Ini penulis lakukan untuk memberikan kesan orisinil atas kalimat ini. Judul di atas merupakan akhir bait dari sebuah puisi yang di gubah oleh HAMKA untuk Muhammad Natsir. Tepatnya di Majlis Konstituante di ruang sidang Konstituante pada 13 November 1957 ketika beliau mendengarkan pidato seorang Muhammad Natsir. Memang sudah tiada yang meragukan, pidato seorang Muhammad Natsir memang telah membahana dan menimbulkan gejolak jiwa bagi para pendengarnya. Ini lah memang kharisma yang langka, yang tidak di miliki oleh pejuang sekaligus cendekiawan muslim lainnya. Hanya orang-orang yang mempunyai keteguhan iman yang kukuh dan kemantapan ilmu yang dalam yang mempunyai kharisma yang kuat sehingga memancarkan resonansinya kepada siapa saja yang mendengarnya.

Selengkapnya rangkaian bait tersebut adalah sebagai berikut:

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu .......!

Menurut hemat saya, gubahan puisi tersebut sungguh luar biasa. Betapa tidak dari aspek bahasanya saja penuh dengan makna dan seolah mempunyai jiwa sendiri dalam setiap kalimatnya. Oke, lepas dari perbedaan diksi pujangga pada zamannya HAMKA, tulisan ini hanya mengupas sedikit tentang latar belakang seorang Natsir mengapa HAMKA sampai menulis gubahan puisi yang dahsyat ini kepada seorang Natsir. Bagaimana sepak terjang seorang Muhammad Natsir dalam kiprahnya sebagai ulama sekaligus cendekiawan islam yang berkarakter teguh.

Memang itulah adanya. Perlu di  ketahui bahwa Natsir adalah seorang tokoh islam di indonesia yang sangat berpengaruh. Muhammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 Juli 1908. Dari tanggal kelahirannya ini, diketahui bahwa ia lahir pada hari Jumat bertepatan dengan 17 Jumadil Akhir 1326 H. Ayahnya bernama Muhammad Idris Sultan Saripado, dan ibunya bernama Khadijah.

Pendidikan Muhammad Natsir, dimulai di sekolah dasar HIS (pendidikan dasar). Pada tahun 1923-1927, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Selama di Mulo ia menerima beasiswa dari pemerintah Belanda karena prestasinya yang baik. Selain tekun belajar, ia juga aktif sebagai anggota National Islamistische Pavinderij(NATIPU) dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane.

Setamatnya di sekolah dasar dan menengah, maka pada tahun 1927, Muhammad Natsir pindah ke Bandung melanjutkan studinya pada Algemene Middelbare Scool (AMS = setingkat SMA sekarang). Di daerah ini, ia pernah belajar pada sebuah sekolah agama di Solok yang dipimpin oleh seorang yang bernama Tuangku Mudo Amin. Muhammad Natsir juga, mengikuti pelajaran agama secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang. Di samping itu, Muhammad Natsir pernah berguru dengan tokoh yang mumpuni keilmuannya, yakni A. Hassan.

Pada tahun 1938, Muhammad Natsir mulai aktif di bidang politik dengan menjadi anggota Partai islam Indonesia (PII) Cabang Bandung. Pada tahun 1940-1942, ia menjabat sebagai ketua PII, dan ketika itu ia kerja di pemerintahan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap sekretaris Sekolah Tinggi (STI) di Jakarta. Kemudian pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Muhammad Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin negara, sebagai menteri dan perdana menteri yang terkenal sebagai administrator berbakat, dan pernah berkuasa sesudah Indonesia merdeka.

Pasca kemerdekaan RI, maka Muhammad natsir dipercaya menjadi anggota Komite nasional Indonesia (KNIP). Pada masa perdana menteri Sultan Syahrir, Muhammad Natsir diminta menjadi menteri penerangan. Tampilnya Muhammad Natsir di lembaga pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan alur pemikirannya, dan atau sumbangan pemikirannya untuk membangun negara ini.

Pada masa demokrasi terpimpin, yakni pada tahun 1958, Muhammad Natsir mengambil sikap menentang politik pemerintah. Keadaan ini. Hal ini mendorongnya bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk “Pemerintah Revolusioner Republilk Indonesia (PRRI)”. Sebagai akibatnya, maka ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

Setelah Muhammad Natsir keluar dari penjara, yakni pada masa pemerintahan orde baru (era Soeharto), ia memulai aktivitas perjuangannya dengan memakai format dakwah (bukan lagi politik). Sikap kritis dan kreatifnya pada masa itu membawa hubungannya dengan pemerintah Orba, juga kurang harmonis.

Referensi Kepustakaan:
Thohir Luth, Muhammad Natsir dan Pemikirannya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1990). Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Cet. VIII; Jakarta: LP3ES, 1996). Ahmad Watik Pratiknya,Percakapan Antara Generasi Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta: Media Dakwah, 1989). Imam Munawwir,Kebangkitan Islam dan Tantangan-Tantangan Yang di Hadapi Dari masa ke Masa (Cet. II; Surabaya: Bina Ilmu, 1984).


4 comments for "Dan Kami pun Masukkan, Dalam Daftarmu !"