Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akhir Kata “Haya”

Di bawah pohon kurma itu seorang laki-laki muda sedang menatap sendu. Entah apa yang dipikirkannya. Raut wajahnya kelihatan menerawang jauh kemasa lalunya yang kelam. Raungan angin padang sahara yang membentang luas di kota itu pun tak begitu dihiraukannnya. Ia begitu menikmatinya seakan tak mau lekas berdiri menghindari terpaan angin yang panas.
Ia terus saja menatap puing-puing rumah itu dengan matanya yang coklat bulat. Pandangannya tajam bak pedang yang siap menghunus. Hatinya begitu teriris melihat kenyataan pahit itu. Betapa tidak, semua keluarganya habis sudah dibantai para tentara rezim pemerintah sekuler.
Hatinya sangat pilu. Sebenarnya ia tak ingin meneteskan air mata dihadapan orang banyak. Kata Abi, pantang buat seorang laki-laki untuk menangis, tapi apalah daya ia tak kuat membendungnya. Matanya yang sembab kembali menatap puing-puing bangunan rumah itu. Sesekali wajahnya yang kelu itu menunduk layu.
“Abi, maafkan farid bi, Farid tak bisa menjaga Umi dan adik-adik Farid”.
Hampir setengah hari ia duduk-duduk di bawah pohon kurma. Kenangan masa lalu masih sesekali berkeliaran di kepalanya. Hampir saja ia putus asa menjalani hidup.
Tak ada satu pun keluarganya tersisa. Bahkan adik perempuan kecilnya pun telah tiada. Pikirannya begitu hangat teringat masa-masa terakhir bersama Haya. “Kak Farid, Haya ingin sekali bisa berjalan sendiri, Haya ingin belajar al-Quran di rumah Umi Maryam. Haya ingin bermain bersama mereka”. Celoteh Haya.
“Haya, kamu di rumah saja, kondisimu tidak memungkinkan sekarang. Lain kali saja kalau kakak sudah bisa membelikan kursi roda untuk Haya, pasti kakak ijinkan Haya bermain sepuasnya”.
“Beneran ya Kak?”
“Tentu, Kakak berjanji”.
“Haya, maafkan kakak”. Teriak Farid dalam hati. Kak Farid tidak bisa mengijinkan kamu keluar rumah. Di luar terlalu berbahaya. Kakak tak ingin kejadian yang menimpa Umi terulang kembali. Sudah cukup rasanya hati kakak berduka melihat Umi sekarat di depan mata. Ini kakak lakukan demi kamu Haya. Maafkan Kakak.
Satu-satunya keluarga yang tersisa baginya hanya adik perempuannya, Haya. Sekitar 5 tahun lalu ia dilahirkan Umi. Itupun ia harus menerima kenyataan pahit ketika bulan lalu kaki adiknya harus diamputasi karena tertimpa reruntuhan bangunan. Tubuhnya kecil mungil kurus. Bagitu menyakitkan ketika ia memandang kaki adiknya. Hatinya membara melihat kenyataan para tentara biadab yang tak punya rasa. Ingin sekali ia membalaskan sakit hati itu.

“Kreeekk”.
Sebuah tangan mungil memegang daun pintu. Ia berjalan masuk mengendap-endap menggunakan tongkat kayu buatan Kakaknya. Ia terpaksa keluar rumah ketika kakaknya tidak ada. Walaupun ia dilarang keras keluar rumah, ia mempunyai alasan tersendiri mengapa ia keluar. Walau masih seumuran kencur, ia sadar bahwa keluar rumah sama dengan mencari maut.
“Dari mana kamu Haya”, tanya Farid.
“Haya dari rumah Farah Kak, Haya main ke sana“. Jawab Haya merunduk.
“Haya, maafkan Kakak, jangan keluar rumah lagi, bahaya !”, sanggah Farid dengan wajah serius. Bukan karena marah pada adiknya, tapi karena cinta dan sayangnya yang membuncah kepada adik satu-satunya. Ia tak mau kehilangan keluarganya lagi.
Tok tok tok..Assalamualaikum.. Suara orang memanggil dari balik pintu.
Wa’alaikumussalam, sahut Farid menjawab.
Silahkan masuk. Dengan nafas terputus-putus Akhi Ridwan berbicara tak beraturan. Tubuhnya menggigil. Raut wajahnya menyiratkan ketakutan yang luar biasa.
“ada apa akhi?”
“Gawat.., sekolah kita..sekolah kita hancur”. “Militer pemerintah tadi melancarkan gencatan ke daerah tepian dan,,,dan teman-teman kita..”. Akhi Ridwan tak sanggup meneruskan bicara. Namun Farid faham artinya.
“Ayo kita kesana !”. Sahut Farid kepada Akhi Ridwan.
Farid sudah berjalan sedikit ke seberang pintu, tiba-tiba ia berhenti. terdiam.
“Haya, jika Kakak belum kembali selama 24 jam. Cepat pergi ke tempat Umi Maryam”
Haya hanya diam.
Konflik diperbatasan negara itu terus berlanjut. Hari demi hari semakin saja merembet ketepian sebelah berat.  Di perbatasan kota Kosofo itu sering terjadi bentrokan  yang menewaskan beberapa penduduk sipil. Bahkan bentrokan itu terkesan disengaja. Jelas tak sebanding, tentara dengan persenjataan lengkap dengan para penduduk sipil yang tangan kosong berteriak bersenjatakan asa. Sungguh tak seimbang.
Konflik terus bergejolak. Dengan diatas namakan menjaga dan melindungi rakyat begitukah mereka melindunginya. Haruskah dengan tank-tank baja, senjata api laras panjang sekaliber Ak47, M16 buatan Amerika, Jerman, Rusia. Hah, itukah yang disebut melindungi rakyat.
Sungguh sangat lucu. Dengan mengatasnamakan memberantas teroris mereka membombardir perumahan perumahan warga yang sedang mengadakan perkumpulan, kajian-kajian agama. Bulsit, ini bukan persoalan itu, ini soal keyakinan. Sebuah keyakinan yang berbeda dari pemerintah yang sekuler. Hati Farid hanya pilu jika mengingat-ingat kejadian itu.
Sekolah itu porak poranda. Semuanya runtuh, tak tersisa sedikitpun. Farid terlambat. Semuanya lanyap. Sunyi sesaat. Gedung kelas, Perpustakaan, Ruang makan. Semuanya runtuh hanya menyisakan puing-puing bebatuan.
Semua militer telah pergi. Tank-tank baja tak ada di tempat. Apalagi pesawat-pesawat pengintai. Semuanya sudah tak ada. Seakan-akan seluruh sekolahan ini runtuh alami tanpa penyebab sedikitpun. Biadab sekali mereka.
Mereka mengincar sekolah ini sejak lama. Mereka tahu sekolah inilah yang banyak mencetak keder-keder militan pejuang rakyat. Dengan dalih sebagai tempat persembunyian gembong pemberontak, mereka meghalalkan semuanya. Anak-anak tak berdosa tergeletak.
Jam 13.43 waktu setempat. Saat semua orang selesai melaksanakan sholat Jum’at  tiba-tiba terdengar beberapa pesawat militer melayang-layang di udara. Bukan ke tempat ini. Tapi ke tepian sebelah selatan. Ke perkampungan. Pesawat itu menjatuhkan sesuatu ke bawah. “Buuumm...bummm..”.
Farid tercengang. Dia ingat adik perempuannya.
“Hayaaaa...!!”, teriak Farid kencang. Yah, pesawat itu mengincar perkampungan tepi selatan. Tapat di perkampungan Farid. Puing-puing rumah berserakan.
“Haya..haya..hayaaa..!”
Semua bangunan rumahnya runtuh, hanya tinggal pondasi saja. Begitu juga rumah Umi Maryam. Tentu tubuh mungil itu terkubur bersama puing-puing bangunan. Tak ada yang tahu, itulah takdir disini. Tak ada pilihan hidup damai. Hanya ada dua pilihan, mau mati sia-sia atau mati untuk berjuang. Seakan itu adalah sebuah keniscayaan.
Tak ada satupun yang menyahut. Di sana banyak wajah-wajah yang berkabut kelam. Bau kematian tak terelakkan. Tak ada satupun yang selamat.
“Farid !, diamana kau?”.  Farid,, Farid, teriak lantang seseorang dari kejauhan.
Suara sunyi. Tak bersambut. Teriakan itu hanya disambut hembusan angin kencang yang dibungkam oleh butiran pasir sahara. Tiba-tiba dari belakang sebuah tangan menggait lembut bahu Farid.
Umi maryam?
“Dimana Haya Umi”. “diamana?”
                “Maafkan Umi Farid, Umi tak bisa menjaga Haya dengan baik”. “Sebuah takdir ilahi kadang sulit kita terima, tapi yakinlah bahwa Allah pasti punya maksud lain dibalik semua ini, tabahkan hatimu”.
                Farid hanya terdiam, selama beberapa waktu ia hanya diam.
“Iya Umi. Farid sudah pasrah, ini mungkin yang terbaik buat Farid, juga Haya disana”. “Farid berjanji akan menyumbangkan raga ini hanya untuk membela agama Allah, Farid ingin segera bertemu dengan Haya, Abi dan Umi di Surga. Farid berjanji Umi, Farid berjanji.”

22/12/13, di Lereng Merapi


1 comment for "Akhir Kata “Haya”"