3 Alasan Mengapa Banyak Wanita Masuk Neraka
![]() |
ilustrasi: dibuat dengan AI |
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الْاِسْتِغْفَارَ ، فَإِنِّـيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَـةٌ : وَمَا لَنَا ، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ،وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَغْلَبَ لِذِيْ لُبٍّ مِنْكُنَّ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّيْنِ؟ قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهٰذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِيْ رَمَضَانَ فَهٰذَا نُقْصَانُ الدِّيْنِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, dari Nabi SAW,
Beliau SAW bersabda, “Wahai wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar
(mohon ampun kepada Allâh) karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni
neraka yang paling banyak.” Berkatalah seorang wanita yang cerdas di antara
mereka, ‘Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai
Rasûlullâh?’ Beliau SAW menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan sering
mengingkari kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan
agamanya yang lebih mampu mengalahkan laki-laki yang berakal dibandingkan
kalian. ’Wanita tersebut berkata lagi, ‘Wahai Rasûlullâh, apa (yang dimaksud
dengan) kurang akal dan agama?’ Beliau SAW menjawab, ‘Kurang akal karena
persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian satu orang laki-laki,
inilah makna kekurangan akal. Dan seorang wanita berdiam diri selama beberapa
malam dengan tidak shalat dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena
haidh), inilah makna kekurangan dalam agama.’”
TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam
Muslim, no. 79 [132]); Ahmad (II/66-67); Abu Dawud (no. 4679), Ibnu Majah (no.
4003); at-Thahawy dalam Syarh Musykilil Âtsâr (no. 2727), dan al-Baihaqi
(X/148). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7980) dan Irwâul Ghalîl (I/205).
Hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhâri, Muslim, Ahmad, dan lainnya dari shahabat Abu Hurairah RA, Abu Sa’id al-Khudri RA dan lainnya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى المُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ»، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَلَيْسَ شَهَادَةُ المَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ» قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ» قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا». [صحيح] - [متفق عليه] - [صحيح البخاري: 304]
Abu Sa'īd Al-Khudriy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan: Rasulullah ﷺ keluar pada waktu Iduladha atau Idul fitri ke tempat salat lalu mampir ke jemaah wanita. Lantas beliau bersabda, "Wahai para wanita, bersedekahlah. Sungguh, telah diperlihatkan kepadaku bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka." Mereka bertanya, "Kenapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kalian banyak mengumpat dan mengingkari kebaikan suami. Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu menaklukkan akal seorang laki-laki cerdas daripada kalian." Mereka bertanya, "Apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Bukankah kesaksian seorang wanita separuh kesaksian seorang lelaki?" Mereka menjawab, "Ya, betul." Beliau bersabda, "Itulah kekurangan akalnya. Lalu, bukankah ketika seorang wanita haid ia tidak salat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab, "Ya, betul." Beliau bersabda, "Itulah kekurangan agamanya." [Sahih] - [Muttafaq 'alaihi] - [Sahih Bukhari - 304]
Di suatu momen di pagi Hari Raya,
Rasulullah saw menyempatkan diri untuk menghampiri jamaah wanita Shalat Id di
lapangan. Beliau lantas memberikan sebuah petuah, “Yā ma’syara’n nisā’,
tashaddaqna! Fainnī ra’aitukunna aktsara ahli-n nār.” (“Wahai para wanita,
gemarlah bersedekah! Sebab aku telah melihat bahwa kalianlah penduduk neraka
yang paling banyak.”). Mendadak
para jamaah itu bertanya balik kepada Rasul, “Kenapa bisa begitu wahai
Rasulullah?” . Jawab Rasul, “tuktsirna’l la’na, wa takfurna’l’asyīr” (“Karena
kalian suka melontarkan kutukan dan mengingkari kebaikan orang”).
Rasul lalu melanjutkan, “mā
ra’aitu min nāqishāti `aqlin wa dīn adzhaba li lubbi rajulin hāzimin min
ihdākunna” (“Aku tidak menemukan orang seperti kalian, yang meskipun kurang
secara akal dan agama tapi bisa mengalahkan keteguhan seorang lelaki yang tegar.”).
Para jamaah kembali bertanya balik, “Di mana letak kekurangan akal dan agama
kami wahai Rasulullah?” . Rasul
menjawab seraya bertanya, “Bukankah persaksian seorang wanita setara dengan
separoh persaksian laki-laki?”. “Betul!” sahut mereka. “Itulah wujud kurangnya
akal.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Bukankah ketika wanita sedang haidl, ia
tidak sholat dan tidak puasa?”. “Betul!” jawab mereka. “Itulah wujud kurangnya
agama.”
Hadits muttafaq ‘alaih riwayat
Abu Sa’id, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah radliyallāhu’anhum ini di zaman
kontemporer sering menjadi poros pertentangan banyak kalangan. Poin paling
utama yang dipertentangkan adalah stratemen Rasulullah saw di atas yang tegas-tegas
menyatakan bahwa dibanding laki-laki, perempuan memiliki kekurangan secara akal
maupun agama. Kekurangan secara akal, ditandai oleh kenyataan bahwa ketika
menetapkan syariat persaksian (khususnya dalam persaksian hutang), Allah
menyetarakan persaksian seorang wanita dengan separoh persaksian laki-laki.
Sedangkan kekurangan secara agama, tampak nyata dalam perbandingan kuantitas
amalan sholat dan puasa antara laki-laki dan perempuan ketika masa-masa datang
bulan. Statemen yang sangat jelas ini sering diingkari dengan dalih bahwa hal
itu merupakan penghinaan nyata terhadap harkat dan martabat perempuan. Juga
karena hal itu bertentangan dengan semangat `kesetaraan jender’. Padahal dalam
hadits di atas, Rasulullah saw menjelaskan bahwa kekurangan akal dan agama
tersebut adalah kekurangan yang sifatnya alami (karena faktor fisiologi), dan
beliau sama sekali tidak mencela para perempuan karena kedua kekurangan ini.
Para perempuan yang disebutkan itu masuk neraka juga bukan gara-gara kedua
kekurangan tadi, akan tetapi karena kegemaran mereka untuk melontarkan kutukan
dan karena mereka suka mengingkari kebaikan orang. Juga karena tabiat ketiga
perempuan yang sebentar lagi akan kita singgung dalam tuliusan ini.
Yang cukup ironis, perdebatan
kusir zaman ini mengenai benar-tidaknya statamen argumentatif Rasulullah
tersebut, ternyata cukup membuat kandungan utama hadits fi`ly sekaligus qawly
di atas menjadi terlupakan dan tak lagi mendapat perhatian. Orang lebih kerap
berdebat mengenai benar tidaknya kekurangan akal perempuan dibanding laki-laki.
Sebagian berusaha membantah statemen Rasulullah di atas dengan mengatakan bahwa
secara faktual di sekolah-sekolah dan tempat-tempat kerja, banyak perempuan
yang lebih cerdas dari rekan-rekannya yang laki-laki. Sebagian lain, berusaha
mentakwil kandungan hadits di atas dengan menyatakan bahwa saat itu Rasulullah
hanya bergurau dan sedang bercanda. Bahkan sebagian yang lain, menolak
mentah-mentah hadits tersebut atau mempersempit cakrawalanya dengan mengklaim
bahwa statamen itu adalah bias budaya patriarkis yang telah memasung martabat
perempuan.
Padahal statemen tersebut adalah penilaian secara umum
dan rata-rata. Sehingga bisa saja ada wanita-wanita tertentu yang lebih unggul
akalnya dibanding banyak lelaki. Tapi tetap saja ada banyak lelaki lain di
dunia yang lebih unggul dari wanita tersebut. Sebagaimana Maryam binti Imron
adalah wanita pilihan di seantero jagad manusia dan kedudukan serta akalnya
jauh lebih rājih dibanding banyak laki-laki. Akan tetapi, beliau masihlah tidak
sebanding dengan para nabi dan rasul yang semuanya laki-laki. Kelebihan yang
dimiliki oleh laki-laki adalah kelebihan natural yang memang dianugerahkan oleh
Allah semenjak awal, sebagaimana Allah melebihkan fisik Kaum `Ad, nasib Bani
Israel, dan daya hafal Bangsa Arab. Begitu juga kelebihan orang dewasa
dibanding anak-anak. Semua ini adalah wujud anugerah yang sama-sekali tidak
mengurangi nilai keadilan. Apalagi, segala kelebihan ini juga adalah nikmat
yang harus disyukuri dan disalurkan dalam ketaatan, seperti kata Nabi Sulaiman
as, “liyabluwanī a-asykuru am akfuru”. Di sisi lain, perempuan juga memiliki
kelebihan-kelebihan unik yang tidak dipunyai oleh laki-laki. Jadi segala natur
ciptaan Allah dan segala butir aturan syariat-Nya ini telah tersusun secara
proporsional, kompak, hikmah, dan saling melengkapi.
Rasulullah saw ketika momen Hari Raya
tersebut juga tidak mungkin sedang bergurau atau bercanda. Sebab konteks hadits
tersebut adalah konteks pemberian nasehat dan peringatan akan api neraka.
Kalaupun sedang bergurau, tentu juga sudah maklum bahwa Rasul tidak pernah
bergurau dengan hal-hal yang mengandung kebohongan. Menganggap budaya
patriarkis sebagai budaya yang memasung martabat perempuan (bukan menempatkan
perempuan pada posisi yang semestinya) juga adalah argumentasi rapuh yang
dibangun di atas asumsi non-analitis yang sama sekali tidak aksiomatis. Di sini
lain, sangkalan ini juga sebenarnya hanya sekedar pengalihan gawang dari titik
pertentangan yang sesungguhnya. Kembali ke poin saya di awal. Gara-gara
perdebatan mengenai “kekurangan akal” tersebut, banyak kalangan yang justru
melalaikan kandungan utama dari hadits di atas. Padahal hadits ini memuat
petuah profetik yang sangat signifikan bagi kaum perempuan. Rasulullah
menjelaskan bahwa ada tiga tabiat jelek yang kerap mengjangkiti perempuan dan berpotensi
untuk menjadi faktor yang akan mengantarkannya pada pintu neraka. Ketiga faktor
itu adalah (1) iktsāru’l la’nah, (2) kufrānu’n ni’mah, dan (3) iftitānu’r
rijāl. Tingkat kesempurnaan perempuan juga bisa diukur dari seberapa kecil
ketiga tabiat ini tersemat dalam dirinya. Yang pertama artinya suka
mencela, mencibir, mencerca, mengutuk, dan melontarkan sumpah serapah. Yang
kedua artinya suka mengingkari pemberian dan kebaikan yang sudah diberikan oleh
orang lain, terutama suaminya. Seperti disinggung oleh hadits lain di Shahīh
Bukhāry, banyak kalangan istri yang suaminya sudah sedemikian rupa berkorban
dan berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik baginya, namun ia justru
menyangkal dengan mengatakan “kamu belum memberiku apa-apa!”. Sedangkan faktor
ketiga adalah bahwa dengan segala kekurangannya secara intelektual maupuan
agama, perempuan memiliki ‘daya pikat’ dan ‘kekuatan rayu’ yang sangat besar
yang mampu meruntuhkan pertahanan seorang laki-laki, yang tegar sekalipun.
Ketika potensi ini digunakan oleh perempuan untuk menggelincirkan laki-laki
sehingga melakukan perbuatan tercela atau melalaikan kewajiban utama, maka
tentu saja potensi rayu ini akan berpulang menjadi faktor bencana bagi
perempuan itu sendiri dan mengantarkannya ke pintu neraka.
Itulah tiga karakter yang rawan
menjadi faktor bencana bagi perempuan. Tapi Islam bukan agama yang
compang-camping. Bukan juga syariat yang menyulitkan atau aturan yang memberi
beban. Tatanan sistem samawi yang bersumber dari Tuhan yang Mahakasih,
Mahaadil, dan Mahatahu ini tentu sudah tersusun secara cermat dan seimbang. Kekurangan-kekurang
an perempuan di atas, ditutupi oleh pemberian pahala yang amat besar untuk
hal-hal yang sederhana atau biasa dilakukan. Kesabaran perempuan ketika
mengandung dan merawat anak, adalah ibadah besar yang membuat seorang ibu
memperoleh hak balas tiga kali lipat dibanding seorang bapak. Ketaatan seorang
istri terhadap suaminya, juga merupakan ibadah utama yang seperti dinyatakan
Rasulullah, “ta`dilu dzālika kullahu!”, artinya setara dengan ibadah-ibadah
haji, jamaah, dan jihad di sabilillah. Padahal, mentaati suami dan memelihara
anak adalah aktifitas tradisional yang memang biasa dilakukan oleh perempuan,
dengan maupun tanpa agama.
Selain itu, dalam hadits di atas Rasulullah
memberikan sebuah resep canggih yang bisa menutupi ketiga potensi negatif
perempuan tadi, yaitu “banyak bersedekah”. Dalam riwayat Muslim ditambahkan
frase “dan banyaklah beristighfar” . Sedekah ini mencakup sedekah harta,
tenaga, ucapan, doa, nasehat, perhatian, dzikir, shalat sunat, dan sebagainya.
Sedekah ini sekilas kelihatan sepele, tapi ia sebenarnya memiliki nilai yang
amat tinggi. Seperti sabda Rasul, “ash-shadaqatu tuthfi’u’l khathāyā kamā
yuthfi’u’l mā’u’n nār”. Kita pun menyaksikan, bahwa rata-rata perempuan yang
gemar bersedekah dan membantu orang papa, adalah juga perempuan-perempuan
tangguh yang tidak lagi “gemar mengutuk”, tidak lagi “mengingkari kebaikan”,
dan tidak lagi “suka merayu”. Itulah yang dicontohkan oleh wanita-wanita
sempurna seperti Maryam, Asiyah, dan Khadijah. Itupula yang kemudian
dipraktekkan oleh para shahabiyat ketika mendengar petuah Rasulullah di atas.
Itu pula yang sedang ingin saya sampaikan kepada para pembaca. Meskipun saya juga
maklum, bahwa tulisan ini akan lebih banyak dibaca oleh laki-laki. Akhirnya,
saya harus mengakhiri tulisan ini dengan berharap semoga momen Syawal tahun ini
bisa menjadi momen bagi terbukanya curahan rahmat dan maghfirah dari Allah
Ta’ala kepada kita. Amin.
Asal Sumber Tulisan:
https://pesantrenbik.com/kajian-islam/kajian-hadits/untuk-perempuan-sepatah-petuah-di-hari-raya/
https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/10011?note=1
Post a Comment for "3 Alasan Mengapa Banyak Wanita Masuk Neraka "