Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Anak-anakku, Aku Bahagia Bersama Kalian

Gayanya udah kayak orang gede aja, padahal kalau lagi kangen mama nangisnya bisa semaleman..hehe
Muadz bin Jabal Dormitory, Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Sebuah tempat yang membuat hati saya merasa selalu senang dan bahagia. Bukan kesenangan untuk semua orang, namun lebih kepada kebahagiaan tersendiri untuk saya. Sebuah kebahagiaan yang terpancar dari jiwa-jiwa yang masih bersih. Jiwa anak-anak. Anak-anakku, kelas 1 madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Terasa ada kebahagiaan yang selalu hadir dalam jiwa mereka. Membuat tenteram bagi setiap mata yang memandang, Qurrata a’yun.

Ada sebuah kebahagiaan tersendiri ketika mempunyai anak-anak dalam rumah tangga. Namun bukan satu-satunya penyebab kebahagiaan. Ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sekarang menjabat status sebagai “orang Tua”. Tentu kehadiran anak bukan satu-satunya penyebab kebahagiaan. Bukan, ada unsur lain yang berperan dalam kebahagiaan. Bahkan sikap dan lingkungan kita juga menjadi unsur penyumbang terbesar dalam kabahagiaan. Ini sudah saya buktikan.

Saya Musyrif mereka, masih muda, belum punya istri, apalagi anak. Namun saya punya anak-anak yang harus saya bahagiakan. Bukan anak biologis, namun anak didik. Walaupun bukan anak sendiri namun saya senang bersama mereka. Ada kebahagiaan tersendiri ketika saya bercengkerama dengan mereka. Wajah-wajah yang masih –polos-polosnya tersenyum tanpa beban. Menatap dengan ikhlas tanpa ada paksaan. Saya benar-benar bersyukur bisa mendidik mereka dan tentunya saya insyaAllah akan selalu berusaha mendidik mereka dengan sepenuh hati.

Beda halnya ketika dulu saya menjadi Musyrif untuk mendidik adik-adik saya yang sudah besar-besar di Kampus. Ketika di sini saya mendapatkan sebuah kedewasaan berfikir, mental maupun yang lainnya. Pengalaman secara langsung dari teori yang dulu sempat saya pelajari di kuliah. Penyampaian sebuah kebijaksanaan yang harus disampaikan dengan cara yang santun dan mengena. Sebuah kata-kata yang langsung berakar dari hati. Tentu tidak mudah merubah karakter saya yang dulunya menghadapi orang dewasa sekarang menghadapi anak-anak yang masih imut-imut dan menggemaskan. Selain itu juga sangat tidak mudah memisahkan anak-anak yang dulunya masih bergantung kepada orang tua menjadi mandiri. Perlu proses yang tidak singkat.

Ketika masih SD dulu yang asalnya setiap hari di siapkan makanannya, seragamnya bahkan diantar sekolahnya, sekarang tidak lagi. Dulu yang ketika tidurnya tidak bisa tidur apabila tidak di keloni ibunya, sekarang tidak lagi. Pendidikan memang butuh proses dan tidak langsung jadi. Perlu tahapan-tahapan yang pas untuk membentuk karakter anak-anak kita. Dunia anak bukan hanya bermain, tetapi mereka juga punya dinamika kehidupan mereka sendiri untuk mengalami proses kedewasaan.

Ketika saya melihat ada anak-anak yang seperti itu (read: manja). Maka itu bukan sebuah alasan yang harus didengung dengungkan. Alasan bukan menjadi penghambat untuk mendidik dan menanamkan adab yang baik. Justru saya menjadi tertantang untuk bisa membahagianakan anak-anak saya, dengan mendidik mereka sepenuh hati sedalam jiwa. Mendidik bukan berarti hanya transfer of knowledge, namun justru saya lebih menekankan adab, sopan santun dan etika. Etika kepada orang tua, kepada ustadz, kepada teman-teman dan sekitar. Itu yang saya tanamkan kepada anak-anak saya. Sebuah ilmu sederhana, namun belum tentu diajarkan dalam kehidupan sekolah.

Saya sangat bersyukur bisa mendidik mereka, anak-anakku. Menjadi ustadz mereka, kakak bahkan teman. Menjadi sebuah refleksi dan kebahagiaan tersendiri bagi diri saya pribadi. Ketika saya sedang banyak fikiran, terkadang saya main-main, berbincang-bincang dan ngobrol santai bersama mereka untuk menyenangkan hati, terasa ada kebahagiaan yang benar-benar murni terpancar dari diri mereka sehingga menular kepada saya. Mungkin inilah yang menyebabkan para orang tua bisa sembuh ketika mereka bertemu dengan anak mereka. Tentu ini susah dipahami logika fikiran. Namun logika hati bisa memahami masalah ini dengan baik.

Sekali lagi saya sampaikan “anak-anakku, Aku Bahagia bersama kalian”.


Post a Comment for "Anak-anakku, Aku Bahagia Bersama Kalian"