Perspektif Hadis Makbul dan Mardud
BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Telah
kita ketahui bersama bahwa salah satu sumber ajaran islam yang kedua setelah Al Qur’an
adalah Hadis Nabi SAW dan secara khusus
menjadi sumber hukum syariah, oleh karena itu hadis tidak hanya menjadi kajian bidang ekslisif
para ahli hadis, tapi juga menjadi obyek studi para ahli ushul fiqih, dimana
mereka banyak memberikan kontribusi
substansial. Dalam konteks hadis sebagai sumber kedua islam, apabila dilihat
dari segi periwayatannya, sebagian hadis Nabi SAW tidaklah muṭawatîr seperti Al Qur’an, karenanya pengkaji ajaran islam
dituntut memiliki kecermatan dalam
menelaah kualitas hadis.
Hadis sebagai
pernyataan, pengamalan
dan taqrir dan hal-ikhwal Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran islam yang
kedua setelah Al Qur’an. Pada zaman Nabi SAW
sebenarnya telah ada dari beberapa sahabat nabi
yang menulis hadis nabi,
akan
tetapi jumlahnya hanya terbatas.
Keadaan
ini selain jumlah mereka yang pandai menulis belum banyak juga karna perhatian
mereka lebih tertuju pada Al Qur’an.
Sebab, Al Qur’an pada zaman
Nabi SAW masih belum dibukukan dalam bentuk mushaf.
Menurut pendapat
mayoritas ulama, sejarah penulisan dan penghimpunan hadis secara resmi dan
massal, dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, penulisan dan penyusunan hadis
baru terjadi atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul al-‘Aziz dalam tenggang waktu 90 tahun. Dalam
masa yang sangat panjang ini telah terjadi pemalsuan pemalsuan hadis yang
dilakukan oleh bebrapa kalangan dengan berbagai tujuan masing masing.
Atas kenyataan ini maka
para ulama hadis dalam usaha menghimpun hadis
Nabi SAW, selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para
periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan
penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadis yang mereka himpunkan. Karna itu, proses penghimpunan
hadis secara menyeluruh terpaksa mengalami waktu yang cukup panjang yakni
sekitar lebih satu abad . Kitab kitab hadis yang mereka hasilkan bermacam macam
jenisnya, baik dari segi kulitas maupun kuantitas hadis yang dimuatnya maupun cara penyusunannya .
Hadis Nabi SAW yang
menjadi objek penelitian ulama hadis ialah berbagai hadis yang berkategori ahâd,
sedang hadis yang berkategori muṭawâtîr tidak menjadi objek penelitian. Sebab hadis
mutawatir tidak lagi diragukan
kesahihannya berasal dari Nabi SAW. Dengan demikian, tujuan utama penelitian
hadis adalah untuk menilai apakah sesuatu yang dikatakan hadis itu benar benar
dapat dipertanggung jawabkan kesahihannya berasal dari Nabi ataukah tidak. Hal
ini sangat penting, mengingat
kedudukan kualitas hadis erat sekali kaitannya dapat atau tidak dapatnya suatu
hadis dijadikan hujah (hujjah;dalil ) agama.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka persoalan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimana perspektif tentang hadis secara umum ?
- Bagaimana klasifikasi hadis maqbûl dan mardûd
?
C. Tujuan
Tujuan yang
ingin dicapai dari makalah ini:
- Mengetahui klasifikasi hadis menurut diterima dan
ditolaknya.
- Mendeskripsikan
pembagian hadis yang diterima dan ditolak secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadis
Kata hadis secara
etimologis berarti komunikasi, kisah, percakapan, religious atau sekuler, historis
atau kontemporer. Menurut pengertian ahli hadis (muhaddisîn) hadis
ialah apa yang disampaikan dari Nabi SAW, meliputi perbuatan, ucapan,
persetujuan diam diam atau sifat sifat beliau (yakni keadaan fisik beliau)[1]. Ulama uṣûl fiqh, memberikan batasan-batasan
tertentu, sehingga yang diangggap hadis oleh mereka hanyalah sebatas
persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah hukum. Sedangkan ulama fiqh
menurut M.Ajjaj al-khatîb dalam kitab al-Sunnah Qobl al-Tadwîn
membatasinya pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan persoalan hukum
syariat dalam hubungan dengan hukum wajib, sunnah, makruh / mubah.
Dikalangan ulama ada
yang mengatakan, apa yang berasal dari sahabat
Nabi dan tabi’în disebut juga sebagai
hadis. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya hadis marfû’ ( hadis yang
disandarkan kepada Nabi SAW ), hadis mauqûf ( hadis yang disandakan kepada sahabat Nabi SAW,
dan hadis maqtû’ ( hadis yang disandarkan hanya kepada tabi’în ). Sebagian ulama berpendapat,
bila kata hadis berdiri sendiri, dalam arti tidak dikaitkan dengan kata atau
istilah lain, maka biasanya yang dimaksud adalah apa yang berasal dari atau
disandarkan kepada Nabi SAW.
Selain
hadis, istilah lain yang biasa dihubungkan dengan segala perkataan, tindakan,
dan ketetapan Nabi SAW adalah sunnah. Kata sunnah secara literal bermakna jalan, arah,
peraturan, model tindakan atau sikap hidup. Dalam syariah sunnah bermakna suatu
praktek religius yang tidak diwajibkan, tetapi hanya sebatas dianjurkan.
Dari sudud terminologi, para ahli hadis tidak
membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka hadis maupun sunnah adalah
hal-hal yang sama-sama berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan maupun sifat-sifat beliau baik fisik, moral maupun perilaku. Berbeda
dengan ahli hadis, para pakar uṣûl fiqh membedakan antara hadis dengan
sunnah, menurut mereka sunnah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi
SAW, Sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat
Nabi SAW, jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi SAW sebagai sunnah,
tetapi sebagai hadis [2].
B. Klasifikasi Hadis
Berdasarkan Diterima dan Ditolaknya
Dalam
otentikasi hadis, suatu
hadis dinyatakan sahih apabila hadis tersebut terbukti sahih sanad dan juga
sahih pada matannya. Penelitian
kesahihan hadis dimulai dengan penelitian sanadnya, apabila penelitian sanad menemukan bahwa suatu
hadis itu sahih, maka baru kemudian dilanjutkan dengan penelitian matannya.Sebaliknya
apabila dalam penelitian sanad menyatakan bahwa hadis yang diteliti ḍaif, maka
penelitian matan tidak perlu dilanjutkan karena hadis itu telah dinyatakan ḍaif
sekalipun matan hadis tersebut baik menurut ajaran islam dan asas umum syariah. Apabila penelitian
sanad sebelum penelitian matan menyatakan bahwa hadis tersebut ḍaif maka hadis
tersebut ditolak dan dinyatakan ḍaif, sebaliknya apabila penelitian matan
menyatakan bahwa matan hadis tersebut sahih setelah penelitian sanad yang sahih
maka itulah yang dinamakan hadis sahih[3].
Para muhaddisîn
dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadis tidak hanya dengan memperhatikan terpenuhinya syarat–syarat
rowi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan hadis itu sampai kepada kita melalui
mata rantai yang teruntai dalam sanad-sanadnya. Oleh karena itu haruslah
terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran hadis disela-sela mata
rantai sanad tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan
syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga pernyataan tersebut
dapat dijadikan ukuran untuk
mengetahui mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang harus ditolak.
Penelitian hadis dilingkungan
kesarjanaan islam meliputi penelitian tentang otentisitas sanad dan penelitian
tentang otentisitas matan. Para ahli hadis telah menyepakati bahwa untuk
dinyatakan sahih (otentik), suatu hadis harus memenuhi 5 syarat:
- Sanadnya
bersambung
- Rawinya
adil
- Rawinya
dabit
- Bebas
dari syuzuz
- Bebas
dari ‘illat
Dilihat
dari segi diterima dan ditolaknya, suatu hadis dapat dikelompokkan menjadi dua
macam,yaitu:
A.Hadis-hadis yang dapat diterima (Hadis al-Maqbûl)
B.Hadis-hadis
yang ditolak (Hadis al-Mardûd)
A. Hadis-hadis yang dapat diterima (hadis al-Maqbûl)
Nuruddin
‘Itr dalam Manhâj an-Naqd fî ‘Ulûm al
Hadîs mengelompokkan hadis-hadis yang diterima (maqbûl)
sebagai berikut:
1.Hadîs ṣahîh
lidzatihi
2.Hadîs hasan
lidzatihi
3.Hadîs ṣahîh lighairihi
4.Hadîs hasan
lighairihi
Adapun syarat-syarat hadis maqbûl[4]
adalah sebagai berikut:
1.
Rawinya
adil
2.
Rawinya ḍabit, meskipun tidak sempurna
3.
Sanadnya bersambung
4.
Padanya tidak terdapat suatu kerancuan
(syadz)
5.
Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak
6.
Pada saat dibutuhkan, hadis yang bersangkutan
menguntungkan (tidak mencelakakan).
A.Hadis Sahih Lizatihi
Para
ulama telah memberikan definisi hadis sahih sebagai hadis yang telah diakui dan
disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis. Hadis sahîh lidzatihi ialah
hadis yang bersambung sanadnya , yang diriwayatkan oleh rawi yang adil
dan ḍabit dari rawi lain yang (juga) adil dan ḍabit sampai
akhir sanad dan hadis itu tidak syadz
serta tidak mengandung cacat (‘illat).
Contoh hadis Sahîh lidzatihi:
حدََّثَنَا عَبْدُ اللهِ
بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ وَحَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، قَالَ :
حَدَّثَنِي مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ،
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةٌ فَلاَ
يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الثَّالِثِ.
“Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami
Malik dan telah menceritakan kepada kami Ismail ia berkata telah mengabarkan
kepada kami, Malik,dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang diantaranya berbisik-bisikan
dengan tidak bersama yang ketiga”.
Keterangan:
Bila sanad tersebut diperiksa dari al-Bukhari (w. 256
H/870
M) sampai Nabi SAW, maka semua sanadnya bersambung dan semua rawi rawinya adil
dan ḍabit sempurna, tidak syâdz
dan tidak ada ‘illath, jadi hadis tersebut sahih.
B. Hadis Hasan Lidzatihi
Hadis
hasan lidzatihi adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi
yag adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya,
tidak syadz dan tidak
‘illat. Dengan membandingkan definisi hadis hasan ini dan hadis sahih, maka
akan kita temukan titik keserupaan yang cukup besar diantara kedua jenis hadis
ini. Keduanya harus memenuhi seluruh kriteria hadis sahih kecuali yang berkaitan dengan kekuatan
daya hafal (ḍabit). Hadis
sahih diriwaatkan oleh rawi
yang sempurna daya hafalnya yakni kuat hafalannya dan tinggi tingkat akurasinya,
sedangkan rawi hadis hasan adalah yang rendah tingkat daya hafalnya.
Contoh hadis hasan lidzatihi:
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة
بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
“Telah menceitakan kepada kami Abu Kuraib,
telah menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr dari
Abi Salamah dari Abi Hurairah, ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Jika Aku
tidak memberatkan ummatku niscaya Aku perintah mereka bersiwak setiap hendak
sholat”. (HR.at-Tirmidzi)
Keterangan:
Bila sanadnya diperiksa dari at-Tirmidzi (w. 279 H/892 M) sampai Nabi SAW maka sanadnya bersambung, semua
rawi yang meriwayatkan adil dan ḍabit, tidak ada syadz dan
tidak ada ‘illat kecuali Muhammad bin ‘Amr, ia kurang ḍabit. [5]
C. Hadis Sahih lighairihi
Hadis
sahih lighairihi adalah hadis hasan lidzatihi yang apabila diriwayatkan pula
melalui jalur lain yang semisal atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang
sama maupun maknanya saja yang sama, maka
kedudukan hadis tersebut menjadi kuat dan meningkat kualitasnya dari
tingkatan hasan kepada tingkatan sahih lighairihi.
Contoh hadis sahih lighairihi:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ
الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pembuka shalat itu ialah
bersuci dan yang memasukkan seseorang kedalam shalat ialah takbir dan yang
mengeluarkan seseorang dari shalat adalah salam”.(Hadis riwayat
at-Tirmidzi).
Keterangan:
Rawi-rawi
yang ada dalam sanad ini semuanya kepercayaan, melainkan ‘Abdullah bin muhammad bin ‘Aqil saja, walaupun ia orang
yang benar tetapi tentang hafalannya –kuat atau tidaknya- masih dalam
perselisihan, yakni diantara ulama ada yang menganggap hafalannya kurang kuat,
dan ada yang menganggapnya kuat.Oleh karna itu, riwayat ‘Abdullah bin Muhammad
bin ‘Aqil dianggap Hasan Lidzatihi. Hadis ini dikuatkan oleh enam jalan lain[6].
D. Hadis Hasan lighairihi
Hadis
hasan lighairihi adalah suatu hadis yang meningkat kualitasnya menjadi hadis
hasan karena diperkuat oleh hadis lain. Imam At Turmudzi (w. 279 H/892 M) mendefinisikan pengertian hadis ini dalam salah
satu kitabnya yaitu al-‘ilal pada
bagian akhir kitab jami’nya, yaitu hadis yang sanadnya baik menurut kami, yaitu
setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang didalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya tidak janggal, diriwayatkan
melalui sanad yang lain pula
yang sederajat.
Contoh hadis Hasan Lighairihi:
رواه الترمذي - أيضا - وحسنه
من طريق هشيم عن يزيد بن أبي زياد عن ابن ابي ليلى عن البراء مرفوعا- إن حقا على
المسلمين أن يغتسلوا يوم الجمعة
“Tirmidzi telah meriwayatkan – juga – dan menghasankannya dari
jalan Husyaim dari Yazid bin Abi Ziyad dari Ibnu abi Laili dari al-Bara’ secara
marfu’:”Sesungguhnya suatu
kewajiban atas orang-orang
islam mandi pada hari jum’at”.(HR al-Tirmidzi)
Keterangan:
Rawi rawi yang ada dalam sanad ini semua
orang kepercayaanm kecuali Husyaim yang terkenal sebagai mudallis. Karna itu maka
sanadnya dianggap tidak terlalu lemah, karna orangnya kepercayaan. Selain itu
hadis ini juga di kuatkan oleh jalan lain, oleh karna itu dinamakan “hasan lighairihi”[7].
B.
Hadis-hadis yang ditolak (Mardûd).
Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang
tidak diterima. Secara istilah Hadis Mardûd ialah hadis yang tidak kuat kebenaran pembawa beritanya. Itu terjadi
karena hilangnya satu atau lebih syarat-syarat diterimanya hadis. Dalam definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadîs mardûd adalah semua
hadis yang telah dihukumi ḍoif.
Ada beberapa
kecacatan pada perawi yang menjadikan hadis mardud[8],
diantaranya:
1.
Berkaitan
dengan keadilannya, yaitu:
a.
Dusta
b.
Tuduhan
berdusta
c.
Fâsik
d.
Bid’ah
e.
Al-Jahâlah
(ketidakjelasan)
2. Berkaitan dengan keḍabitannya,
yaitu:
a. Kesalahan yang sangat buruk
b. Buruk hafalan
c. Kelalaian
d. Banyak wahm (prasangka)
e. Menyelisihi para perawi yang ṣiqah.
Menurut
Nuruddin Itr dalam Manhâj An Naqd fî ‘Ulûm al Hadîs bahwa macam-macam hadis
yang ditolak (mardûd[9])
dapat digolongkan secara umum sebagai berikut:
1.
Hadis ḍaif dengan berbagai sanadnya
2.
Hadis Mudha’af
3.
Hadis Matrûk
4.
Hadis Matrûh
5.
Hadis Maudhû’
Pembagian hadis tersebut
berdasarkan tidak terpenuhi syarat-syarat maqbul pada rawi karena adanya cela padanya.
A. Hadis dhaif
Hadis daif adalah hadis mardud yang ditolak atau tidak dapat
dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Menurut istilah hadis ḍaif ialah hadis yang kehilangan salah
satu syarat sebagai hadis maqbûl ( hadis yang diterima ). Dengan demikian hadis daif itu bukan saja
tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih tetapi juga tidak memenuhi persyaratan hadis hasan.
Alasan
pemberian predikat daif kepada hadis yang tidak memenuhi syarat diterimannya
sebuah hadis adalah apabila suatu hadis telah terpenuhi syarat-syarat hadis
maqbul diatas, maka
jelaslah bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan sesuai dengan keadaan semula
dan sebaliknya apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
ada yang menunjukkan demikian .
Istilah
daif itu adalah predikat yang umum yang mencakup semua hadis yang ditolak oleh
sebab apapun. Menurut
Nuruddin ‘Itr hadis daif itu banyak sekali macamnya. Hal ini disebabkan
apabila kita menjadikan tidak terpenuhinya setiap syarat sahih diatas sebagai
suatu kriteria untuk suatu jenis hadis ḍaif,
maka akan didapatkan enam macam hadis ḍaif. Apabila masing masing dari
enam macam tersebut dikaitkan dengan tidak terpenuhinya syarat syarat yang lain,
maka sudah tentu macam macam hadis daif akan semakin banyak lagi, dan menurut
perhitungan Syekh Muhammad al-Simahi mencapai lima ratus sepuluh macam, hal
itupun masih bisa bertambah lagi apabila diperinci lebih lanjut.
Akan tetapi sebagian muhaddisîn
tidak memisahkan setiap bentuk kelemahan
itu sebagai hadis daif tersendiri karena hal itu tidak efektif dan merusak
etika ilmiah serta tidak akan memberikan nilai tambah atas pembahasan yang
dimaksud. Mereka membahas macam macam hadis ḍaif itu tidak lain dengan
membaginya berdasarkan kelompok kelompok keragamannya. Hal ini dimaksudkan
untuk menjadi pedoman yang memadai dalam rangka membedakan hadis yang maqbûl
maupun yang mardûd
dengan segala bentuk dan macam macamnya. Disamping itu juga dimaksudkan pula
untuk menjelaskan sejauh mana batas kedaifan suatu hadis, apakah dia dapat
menjadi kuat apabila ada hadis lain yang menguatkannya ataukah ia terlalu ḍaif
sehingga tidak bisa menjadi kuat sama sekali, atau bahkan merupakan hadis palsu.
Contoh hadis
daif:
أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ
سَالِمٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا
رَأَى الْبَيْتَ رَفَعَ يَدَيْهِ
“Telah
mengabarkan kepada kami, Said bin Salim, dari Ibnu Juraij, bahwa Nabi SAW
apabila melihat Baitullah, Beliau mengangkat kedua tangannya”.(HR.Syafi’i).
Keterangan:
Hadis diatas
adalah hadis yang daif karena Mu’ḍal, artinya
hadis yang ditengah sanadnya gugur dua rawi atau lebih dengan berturut-turut, Ibnu
Juraij tersebut tidak sezaman dengan Nabi SAW, masanya tidak sezaman dengan
Nabi SAW, bahkan masanya itu dibawah tabi’în, yaitu pengikut tabi’in (tabi’ut
tabi’în)
B.Hadis Mudha’af
Dalam
kitab Manhâj an-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadîs disebutkan bahwa hadis Muḍa’af
ialah hadis yang tidak disepakati kedaifannya, melainkan dinilai daif oleh
sebagian ulama dan dinilai kuat oleh sebagian yang lain, baik dari segi
matannya maupun dari segi sanadnya. Syaikh al-Sakhawi (w. 902 H/1497 M) menjelaskan
bahwa kriteria Muḍa’af adalah apabila penilaian daifnya lebih kuat atau
sama kuatnya dengan penilain sahihnya dan tidak dapat dipilih mana pendapat
yang lebih kuat.
Contoh hadis Muḍa’af:
حدثنا محمد بن بشار بن صفوان بن عيسى ثنا بشير بن رافع عن أبي عبد الله بن
عمر عن أبي هريرة قال: " ترك الناس التأمين، وكان رسول الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قال: غير المغضوب عليهم ولا الضالين، قال: آمين، حتى
يسمعها أهل الصف الأول فيزعج بها المسجد.
Telah menceritakan Muhammad bin
Bisyr bin Safwan bin ‘isa, Telah menceritakan kepada kami BasyÎr bin Râfi’ dari
Abi Abdullah bin umar dari Abi Hurairah, mengatakan : manusia meninggalkan
lafal amin. Rasulullah SAW ketika membaca lafal :”Ghairil Magdhû bi alaihîm
wala ad-dhâllîn”, maka beliau
mengatakan: Âmîn, sehingga para sahabat yang berada di shaf awal di masjid mendengarnya
dan menggema lah bacaan âmîn tersebut.
Keterangan:
Hadis diatas adalah
hadis Muḍa’af, karena para ulama hadis berpendapat berbeda-beda tentangnya,
Imam Bukhari (w.256 H/870 M) mengatakan bahwa Basyîr bin Rafi’ abu Asbât
al-Harisy hadisnya tidak dipakai atau tidak diikuti, Ibnu Ma’în (w.233 H/848 M) mengatakan bahwa Hâtim bin Ismâ’îl meriwayatkan
dari Abi Asbât Syaikh al-Kufî secara tsiqah, ia mengatakan bahwa Basyîr bin
Rafi’ abu Asbât al-Harisy tsiqah, Yahya
mengatakan munkâr, dan an-Nasâ’i (w.303
H/915
M) mengatakan pula bahwa dia ḍaif, Hâkim abu Ahmad mengatakan ia tidak kuat, Tirmidzi
berkata bahwa ia muda’af dalam hadis, Abu Hatim berkata dia daif mungkar
al-hadîs, Ibnu Qattân mengatakannya daif. Para ulama berbeda pendapat
tentang hadis tersebut, jadi hadis tersebut sesuai penilaian para ulama
merupakan hadis muda’af.
C. Hadis Matruk
Menurut
Syaikh al-Islam al-Hafidz Ibnu Hajar (w.852 H/1449 M) mendefinisikan hadis
matruk dalam kitabnya fath al-Mughits ialah hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang dusta dan hadis itu tidak diketahui kecuali hanya melalui jalannya
saja, disamping itu ia menyalahi kaidah-kaidah yang telah maklum. Demikian pula
hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dikenal pendusta dalam bicaranya
meskipun ia tidak pernah terbukti dengan jelas melakukan kedustaan dalam
meriwayatkan hadis Nabi SAW.
Contoh hadis matrûk:
وحديث الجارود
بن يزيد ا لنيسابوري قال الذهبي: ومن بلاياه عن بهز عن أبيه
عن جده أنه قال: "إذا قال لامرأته أنت طالق إلى سنة إن شاء الله فلا حنث عليه".
Hadis al-Jarud bin Yazid
al-Naisaburi, Ad-Dzahabi berkata : “diantara musibah yang ditimpakannya” dari
Bahz dari bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, “Apabila seorang suami berkata
kepada istrinya, “kamu kutalak selama setahun,insya Allah,
maka ia tidak berdosa”.
Keterangan:
Al-Jarrud
dinyatakn sebagai pendusta oleh Abu Usamah dan dinilai ḍaif oleh ‘Ali. Abu
Dawud berkata, “Ia tidak tsiqat”, sedangkan Al-Nasâ’I (w.303 H=915 M) dan
al-Daruquthni berkata, “Ia matrûk”.
D. Hadis Matruh
Hadis
Matruh dijadikan satu hadis tersendiri dan didefinisikan oleh al-Dzahabi (w.748
H/1347) yaitu hadis yang lebih rendah daripada hadis daif dan lebih tinggi dari
maudhu’. Sehubungan dengan itu, ia memberi contoh dengan hadis Juwaibir bin
Said dari ad-Dhahhak dari Ibnu Abbas sebagai berikut.
Contoh hadis Matruh:
عن جويبر عن
الضحاك عن ابن عباس مرفوعا قال: "تجب الصلاة على الغلام إذا عقل والصوم إذا
أطاق"
"Dari Juaibir dari ad-Dahhak dari
Ibnu Abbas secara marfû’ ia berkata : Shalat diwajibkan kepada anak kecil
ketika ia dapat berfikir dan wajib puasa dan wajib melaksanakannya"
Keterangan:
Banyak sekali
hadis yang diriwayatkan melalui untaian sanad diatas. Juwaibir dikatakan oleh
ibnu Ma’in: Laisa bi syai’in (sama sekali tidak tsiqat).
Al-Jauzijani berkata: La yusytaghal bih (tidak dapat ditekuni hadisnya).
E. Hadis Maudhu’
Hadis yang diada-adakan dan dibuat-buat.
Yakni hadis yang disandarkan kepada Rasulullah dengan dusta dan tidak ada
kaitan yang benar dengan Rasulullah.
Bahkan, sebenarnya ia bukan
hadis, hanya saja para ulama menamainya hadis mengingat adanya anggapan rawinya
bahwa hal itu adalah hadis.
Contoh hadis Maudhû’:
ان
الله اذا غضب انتفخ على العرس حتى يثقل على حملته
“Sesungguhnya apabila Allah SWT marah, maka Ia meniup
‘Arsy sehingga terasa berat bagi para malaikat penyangganya”
Keterangan:
Hadis palsu ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (w.354 H/965 M) dan ia beranggapan bahwa rawinya adalah Ayyub bin Abd al-Salam, ia
adalah seorang pendusta dan hadis ini merupakan hasil kedustaan dan rekaannya.
Demikian itu
adalah pembagian hadis mardud secara umum menurut Nuruddin ‘Itr dalam kitab Manhâj an-Naqd fî ’Ulûm al-Hadîs. Tapi
berkenaan dengan hal tersebut sebagian ulama hadis juga ada yang membagi hadis
yang dikategorikan hadis mardud ini secara lebih rinci.
Penelitian hadis dilingkungan kesarjanaan islam meliputi penelitian tentang
otentisitas sanad dan penelitian tentang otentisitas matan. Para ahli hadis
telah menyepakati bahwa untuk dinyatakan sahih (otentik), suatu hadis harus
memenuhi 5 syarat:
- Sanadnya
bersambung
- Rawinya
adil
- Rawinya
dabit
- Bebas
dari syuzuz
- Bebas
dari ‘illat
Kelima unsur otentikasi hadis
tersebut diatas meliputi otentisitas sanad dan otentisitas matan. Menurut
Syamsul Anwar, tiga unsur pertama khusus untuk otentisitas sanad dan dua yang
terakhir yaitu bebas dari syuzuz dan ‘illat (caat tersembnyi) adalah kriteria untuk
otentisitas sanad dan matan, tetapi
lebih khusus kepada otentisitas matan. Penelitian hadis daif menurut sebab
sebab kedaifannya adalah sebagai berikut:
A. Menurut
Otentisitas Sanad Hadis
Ø
Dalam
kaitannya dengan kesahihan sanad, suatu hadis dinyatakan bersambung bila
memenuhi dua unsur :
a. Tidak adanya keterputusan dalam sanad, hal ini
ditandai oleh adanya pertemuan (al-Liqa’) atau adanya kesezamanan (al-mu’âsarah)
antara dua rawi berurutan.
b. Bersumber kepada Nabi SAW (marfû’), dalam arti
bukan perkataan sahabat ataupun perkataan tabi’iin.
Termasuk
kategori hadis yang terputus sanadnya dan karena itu tidak sahih adalah:
a. Hadis Mualak (mu’allaq), yaitu hadis yang tidak
disebutkan rawi sebelum mukharijnya.
b. Hadis Munkatik (munqati’), yaitu hadis yang
salah satu rawinya gugur (tidak disebutkan)
c. Hadis Mukdal (mu’dal), yaitu hadis yang dua
rawi berturut turut gugur (tidak disebutkan)
d. Hadis Mudalas (mudallas), yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi yang melakukan tadlîs, yaitu rawi yang
meriwayatkan suatu hadis dari rawi pendahulunya yang ia pernah bertemu atau
belajar hadis darinya, namun hadis yang diriwayatkannya itu bukan yang pernah
ia dengar dari rawi pendahulu itu, ia menyiratkan seolah hadis itu didengar
dari rawi pendahulunya tersebut.
e. Hadis Mursal (mursal), yaitu hadis yang rawinya
dari generasi sahabat gugur (tidak disebutkan) dengan beberapa pengecualian.
Termasuk kategori hadis yang tidak marfuk, yaitu tidak bersumber langsung dari Nabi SAW adalah :
a. Hadis Maukuf (mauqûf), yaitu hadis yang hanya bersumber kepada sahabat dan tidak bersumber kapada Nabi SAW.
b. Hadis Maktuk (maqtû’), yaitu hadis yang
bersumber dari tabi’iin, yakni hadis yang merupakan kaul atau tradisi tabi’iin
dan tidak bersumber kapada Nabi SAW.
Ø Sedangkan Rawi adil artinya bahwa rawi memenuhi
unsur-unsur:
a. Beragama islam saat meriwayatkan hadis
b. Mukalaf
c. Menjalankan ketentuan agama
d. Memelihara citra baik (maru’ah)
Termasuk hadis hadis yang tidak memenuhi syarat ini adalah :
a. Hadis Matruh (matrûh) -dengan ‘h’, hadis
terbuang-, yaitu hadis yang tidak merupakan kebohongan tetapi jelas bukan hadis
yang berasal dari Nabi SAW.
b. Hadis Matruk (matrûk) -dengan ‘k’, hadis tak
terpakai-, yaitu hadis yang diriwayatka oleh rawi yang tertuduh sebagai
pendusta meskipun hadis tersebut sendiri tidak terbukti merupakan kedustaan,
akan tetapi jelas dan orang yang tertuduh pelaku dusta.
c. Hadis Mauduk (maudû’) -hadis palsu-, yaitu
hadis yang terbukti merupakan hasil kedustaan, benar-benar terbukti bukan dari
Nabi SW.
Ø Rawi dabit, dalam konteks kesahihan sanad menunjukkan
arti bahwa ia:
a. Menguasai dengan sempurna materi hadis yang diterima
b. Mampu menyampaikan materi hadis tersebut dengan baik.
Ø Bebas dari syuzuz unsurnya adalah tidak adanya
penyimpangan sanad suatu hadis terhadap sanad lain dari hadis yang sama dan
lebih banyak jumlahnya.
Ø Bebas dari ‘illat (cacat yang tersembunyi), berarti :
a. Tidak terjadi penilaian rawi tidak terpercaya sebagai
rawi terpercaya
b. Tidak terjadi penilaian sanad terputus sebagai sanad
bersambung
c. Tidak terjadi pembacaan nama rawi secara salah atau
mengalami perubahan yang dilakukan oleh rawi kemudian.
Termasuk hadis hadis yang tidak memenuhi ketiga kriteria ini (kedabitan rawi, bebas dari syuzuz, dan bebas dari ‘illat) sepanjang menyangkut sanad adalah sejumlah hadis yang meliputi hadis mungkar, hadis maklul (ma’lûl), hadis syaz, hadis mutarib, hadis maklub (maqlûb), hadis mudraj, hadis mazid, hadis musahaf, hadis muharaf, hadis mukhtalit dan hadis mudaaf. Dan juga termasuk kategori hadis ini adalah hadis yang identitas rawinya tidak jelas (majhûl), yaitu hadis mubham dan hadis muhmal. Perlu diketahui juga bahwa sebagian hadis hadis ini menjadi daif bisa juga karena cacat matannya, bukan karena cacat sanad.
B. Menurut
Otentisitas Matan Hadis
Sebagaimana dikemukakan terdahulu
bahwa bahwa kriteria otentisitas hadis yang keempat dan kelima yaitu bebas dari
syuzuz dan bebas dari ‘illat merupakan kriteria otentisitas sanad dan juga
sekaligus kriteria otentisitas matan. Jadi, ada dua kriteria otentisitas matan,
yaitu bebas dari syuzuz dan bebas dari ‘illat. Menurut Syamsul Anwar, kriteria
otentisitas hadis berupa bebas dari syuzuz dan bebas dari ‘illat sebagaimana
dipraktikkan oleh para ahli hadis lebih tertuju kepada format matan, yaitu
apakah matan terbalik, mendapat tambahan, mendapat sisipan, mengandung
kontradiksi internal dan seterusnya.
Menurut Syamsul Anwar dalam bukunya Interkoneksi
Studi Hadis dan astronomi disebutkan bahwa kriteria otentisitas matan
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Kriteria format otentisitas matan
b. Kriteria substansial otentisitas matan
A. Kriteria
format otentisitas matan: bebas dari syuzuz dan ‘illat
Dengan memperhatikan kajian para
ulama hadis tentang kedaifan hadis dari segi matan ‘bebas dari syuzuz’ sebagai
kriteria formal otentisitas matan memiliki tiga unsur:
a. Bebas dari pertentangan
b. Bebas dari pencemaran
c. Bebas dari kesalahan (kekeliruan)
Sementara
bebas dari ‘illat sebagai kriteria formal kritik matan mencakup unsur unsur:
a. Bebas dari Kontradiksi internal
b. Bebas dari adanya interpenetrasi matan (percampuran
satu matan dengan matan yang lain)
A. Unsur yang pertama: bebas dari pertentangan, terkait
unsur bebas dari pertentangan adalah hadis maklub, hadis syadz, hadis mazid dan
hadis mutarib.
Ø
Hadis Maklub
(terbalik) adalah hadis yang terbalik redaksinya atau tertukar tempatnya jika dibandingkan dengan hadis yang
sama dari jalur riwayat lain.
Ø
Hadis Syadz,
sebagaimana didefinisikan oleh Nuruddin ‘Itr adalah hadis yang diriwayatkan
oleh rawi yang makbul secara berbeda dengan riwayat lain yang lebih kuat daripadanya
karena lebih banyak jumlah jalurnya atau lebih hafidz orangnya.
Ø
Hadis Mazid
adalah suatu hadis yang didalamnya seorang rawi terpercaya (tsiqah)
menambahkan suatu kata atau frase baik dalam sanad ataupun matan yang tidak
diriwayatkan oleh rawi lain.
Ø
Hadis
Mutarib adalah hadis yang diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad yang
berbeda dan tidak dapat ditarjih salah satunya atau tidak dapat di jamak
(dikopromikan) satu sama lain.
B. Unsur kedua: bebas dari pencemaran, yaitu tercampurnya
suatu hadis dengan unsur bukan dari hadis karena kesengajaan maupun tidak
sengaja.Terkait dengan ini adalah hadis mudraj yaitu hadis yang didalamnya
terjadi penyisipan sesuatu yang bukan dari hadis sehingga dianggap sebagai
bagian dari hadis.
C. Unsur ketiga:
bebas dari kekeliruan, terkait hal ini adalah hadis musahaf dan hadis muharaf.
Ø Hadis Musahaf adalah hadis yang terjadi padanya
perubahan huruf dari suatu kata karena perubahan titik pada huruf yang serupa.
Ø Hadis Muharaf adalah hadis yang mengalami perubahan
bentuk huruf sehingga menjadi kata lain dan mengubah maknanya.
D. Unsur keempat dan kelima: bebas dari ‘illat yaitu
bebas dari kontradiksi internal dan bebas
dari interpenetrasi matan yang berasal dari unsur bebas illat.Terkait dengan
unsur keempat dan kelima ini adalah
hadis maklul (mu’allal) pada matannya.
Hadis Maklul (mu’allal) adalah
hadis yang ditemukan didalamnya suatu cacat yang tersembunyi yang mempengaruhi otentisitasnya meskipun dipermulaan
tidak tampak adanya cacat tersebut.
B. Kriteria
substansial otentisitas matan: bebas dari inkoherensi.
Bebas dari inkoherensi artinya
terciptanya harmoni makna hadis itu dan bebasnya substansi maknanya dari
inkoheransi dengan sejumlah makna yang sudah diterima dan diakui. Kritik ini
lebih banyak terkait dengan substansi makna yang menjadi isi hadis dari pada
terkait kepada format matan seperti apakah matannya terbalik susunannya ataukah
tidak, apakah berbeda dengan matan hadis lain yang serupa, apakah matannya ada
tambahan ataukah ada kesalahan tulis dan seterusnya. Maka dalam kriteria
substansial matan, hadis lebih dilihat dari substansi matan yang terkandung
didalamnya.
Ad-Dumainî menyebutkan kriteria yang
berbeda antara ahli hadis dan fukaha. Dikalangan ahli hadis unsur inkoherensi
hadis yang menyebabkan daif adalah apabila hadis bertentangan dengan (a)
al-Qur’an, (b) hadis yang terbukti otentik, (c) sunnah yang telah mapan, (d)
bahasa arab yang benar, (e) fakta sejarah, (f) prinsip dan kaidah syariah yang
tetap, (g) akal sehat. Sedangkan dikalangan fukaha, matan hadis adalah makbul
apabila koheren, dan sebaliknya ditolak apabila bertentangan dengan (a)
al-Qur’an, (b) hadis yang telah terbukti otentik, (c) ijmak, (d) praktik
sahabat, (e) qiyas, (f) prinsip umum
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa para muhaddisin telah menetapkan
syarat-syarat yang sangat detail untuk menetapkan dapat diterimanya suatu hadis
yang meliputi penelitian sanad dan matan hadis serta cacat dan kejanggalan yang
menodai kesahihan hadis. Diantara keunikan metode yang mereka tetapkan ialah
mereka mengklasifikasikan hadis-hadis yang dapat diterima dan hadis-hadis yang
ditolak. Para
ahli hadis mengklasifikasikan hadis yang diterima tersebut dari hadis yang
paling sahih sampai tingkat hadis hasan terendah dengan tidak mengesampingkan
faktor penguat dari luar.
Sehubungan
dengan hadis yang ditolak (mardûd), kriteria ditetapkan dengan
kehati-hatian, dimana kedaifan hadis itu tidak terpaku pada adanya dalil yang
berlawanan dengannya, melainkan mereka menetapkan kedaifan suatu hadis hanya
dengan kurang terpenuhinya kriteria hadis yang dapat diterima, mengingat bahwa
boleh jadi rawinya melakukan suatu kesalahan dalam menyampaikannnya. Disamping
itu mareka menetapkan, bahwa boleh jadi suatu sanad itu sahih tapi matannya
tidak sahih dan sebaliknya.
Dalam
hal ini mereka memperhatikan
berbagai faktor yang mempengaruhi masing masing sanad.
B. SARAN
Dari uraian diatas, perlu kiranya
penulis utarakan saran untuk pengembangan kajian hadis kepada para pemerhati
kajian-kajian hadis untuk senantiasa lebih teliti dan cermat dalam menyikapi
keotentikan suatu hadis sehingga menjadi jelas mana hadis yang diterima dan
mana hadis yang ditolak.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr,Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fii ‘Uluum
Hadis.Damaskus:Dar al-Fikr.1979.
___________, Manhaj an-Naqd Fii ‘Ulum
al-Hadis, Penerj: Mujiyo. Cet.1.Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.2012.
Anwar,Syamsul. Interkoneksi Studi Islam dan
Astronomi. Yogyakarta: Suara
Muahammadiyah. 2011.
Azami,M.M. Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi
dan Literatur Hadis. Jakarta:
Lentera. 2003.
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis:
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Thahan, Mahmud, Taysir Musthalah Hadis.Beirut:Dâr al-Fikr. t.th.
Hassan,A.Qadir. Ilmu
Musthalah Hadis. Bandung: Diponegoro.2007.
Fanny, Dzul. Skripsi Metode Pemahaman Hadis dengan
Membedakan Antara Sarana dan Sasaran
Menurut Yûsuf al-Qardawi. t.th.
CD. Maktabah samilah
[1] M.M.Azami,
Memahami Ilmu Hadis:telaah metodologi dan literatur hadis
(Jakarta:Lentera,2003),hlm.21,24.
[2] Fanny, Dzul. Metode
Pemahaman Hadis Dengan Membedakan antara Sarana dan Sasaran Menurut Yusuf al-Qardawi. t.th.hlm.17. seperti yang
telah disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf, ‘Ushûl Fiqh (Kuwait: Dâr
al-Kuwaitiyah,1968), hlm.36
[3] Syamsul Anwar, Interkoneksi studi Hadis dan
Astronomi (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah,2011),hlm.7-8.
Post a Comment for "Perspektif Hadis Makbul dan Mardud"