Sang Pejuang, Sepenggal Kisah Perjuangan Dakwah
“Selamat datang di sini akhi”, Kata Pak Ali menyambut rombongan kami di
Masjid sekolahan. Beliau adalah salah seorang pelopor perjuangan persyarikatan
di sini. Pernah menjabat sebagai ketua pemuda tingkat daerah, ayahnya dan istri
beliau pernah menjadi ketua PDM dan Ketua NA di daerah sini.
“Bagaimana perjalan kesini, asik kan?” tanya Pak Ali membuka percakapan.
“Haha,,iya, asyik sambil ditemani dengan penumpang yang pada mabuk
perjalanan”, jawab Ustadz Ghofar sambil bercanda dengan ketawa khasnya. Saat
itu memang teman kami ada yang mabuk dan kelelahan karna perjalanan jauh.
“Saya sudah menunggu dari tadi kedatangan antum-antum semua. Kader-kader
perjuangan. Saya tidak menyangka Ustadz Ghofar benar-benar akan mengirim para
kadernya ke sini. Awalnya saya cuma SMS-an sama beliau, ternyata SMS saya itu
ditanggapi dengan serius. Saya sangat berterima kasih atas kedatangannya.” Papar
Pak Ali kepada para rombongan.
“Moggo silahkan istirahat sejenak sambil menunggu minum dan makanannya.” Setelah
istirahat sejenak akhirnya rombongan memutuskan untuk pulang duluan setelah
menitipkan kami bertiga di daerah ini. Tepatnya di sebuah gedung yang terlihat
baru dibangun. Pasalnya memang masih terlihat puing-puing sisa bangunan yang
berserakan. Sebenarnya bangunan ini bukanlah bangunan baru. Ini adalah bangunan
lama yang diperbaharui, direnovasi ulang dengan gaya yang sedikit berbeda. Bangunan
ini diberi nama dengan MBS (Muhammadiyah Boarding School) setelah kemarin di
resmikan oleh salah seorang ketua PP Muhammadiyah.
Tempat ini akan menjadi titik awal kami bertiga mengarungi samudra Ramadhan
tahun ini. Di sebuah gedung lama yang baru selesai di renovasi, MBS. Bersama-sama
dengan salah seorang pengurus yang juga baru pindah ke sini. Namanya Pak Irham,
entah siapa nama lengkapnya, yang pasti kami hanya mengenalnya dengan nama itu.
Simpel, sesimpel hidup beliau.
Beliau baru pindah ke sini dua hari sebelum kami datang kesini. Walaupun
beliau sudah lama tahu tentang daerah ini, namun untuk tinggal dan menetap di
sini itu adalah hal baru. Sebagai penduduk baru dan pengurus bangunan yang
kelak menjadi sekolah terkenal, insyaallah. Begitu keyakinan beliau.
Pak Irham adalah seorang guru. Beliau pindah ke sini hanya dengan bekal
keyakinan dan keberanian yang tertanam dengan kuat di hatinya. Sambil memboyong
keluarganya menempati tempat ini.
Suatu sore saya ngobrol-ngobrol di serambi masjid dengan pak Irham. Saya
bertanya-tanya dan penasaran perihal bangunan ini. “Pak Irham, kenapa gudung
ini bisa diserahkan kepada Muhammadiyah?”.
“ooh, dulu gedung ini adalah milik perorangan, namanya pak Ihsan. Dulunya
gedung ini adalah panti asuhan. Kemudian dikembangkan menjadi sekolahan. Akan
tetapi setelah Pak Ihsan meninggal, keturunannya tidak bisa melanjutkannya
dengan baik. Akhirnya atas keputusan keluarga, tanah dan bangunan ini di
serahkan ke persyarikatan Muhammadiyah tiga tahun yang lalu.”
“Lhoh, sudah diserahkan ke Muhammadiyah tiga tahun yang lalu. Tapi kok baru
sekarang digunakan?.” Tanya saya memburu jawaban.
Itulah mas, PDM-nya masih tarik ulur. Sudah rapat beberapa kali, tapi belum
tahu mau dibuat apa gedung ini. Akhirnya tahun ini baru di putuskan mau di buat
MBS.
“Kenapa Pak Irham mau tinggal di sini, kan di sini sepi dan kultur
budayanya juga jauh berbeda?”
“haha,,sudah saya kira sampean bakal tanya itu. ya itulah Mas, yang namanya
perjuangan itu memang ndak mudah mas. Buanyak sekali halangannya. Ada-ada aja
alasannya, entah itu jauh dari tempat kerjalah, tempatnya sepilah, jauh dari
keluargalah. Walhasil ndak ada yang mau tinggal di sini.”, begitu tutur beliau
menasehati bijak.
Sebenarnya Mas, kalau mau jujur, saya ndak tinggal di sini pun bisa. Sebelum
tinggal disini, saya sudah punya rumah dan pekerjaan tetap sebagai guru PNS.
Ibunya juga sudah ada kerjaan di sana. Tutur pak Irham menjelaskan.
“Saya ndak ingin cari uang, reputasi ataupun jabatan di sini. Yang saya
inginkan hanya berjuang. Mungkin inilah cara syukur yang paling baik bagi saya.
Syukur itu kan ndak hanya mengucapkan alhamdulillah di lisan saja ta, tapi kan
juga harus di buktikan dengan amal, betul ta mas, katanya di ceramah-ceramah
kan seperti itu. Beramal untuk bekal kehidupan akhirat. Selagi saya masih
mampu, kenapa tidak. Kan seperti itu ta Mas”.
Luar biasa Pak Irham ini, andai ada ribuan atau ratusan saja orang yang
seperti ini di dunia pasti dunia ini akan tentram dan damai, bisik saya dalam
hati.
Sambil mengingat-ingat masa lalu, pak Irham menceritakan. Dulu saya pernah
punya les Privat bahasa inggris di rumah dan alhamdulillah tergolong sukses
besar. Muridnya sampai seratusan lebih. Bahkan kalau di hitung-hitung gaji dari
les itu melebihi gaji saya sebagai guru di sekolahan. Namun saya tinggalkan
karena saya mulai sibuk di sekolahan. Takutnya ndak bisa mengurusi secara
maksimal karna kesibukan sehingga jadinya ndak berkah.
Pak Irham melanjutkan ceritanya. Tau ndak mas, bangunan ini itu sudah di
wakafkan ke Muhammadiyah sudah luama sekali. Sejak 3 tahun yang lalu. Tapi ya
gitu mas, ndak ada yang mau ngurus. Selama 3 tahun itu bangunan ini vakum ndak
digunakan. Kan eman-eman ta Mas. Masak bangunan sebesar ini ndak dimanfaatkan
dengan baik.
“Memang PDM-nya ndak tahu apa ya Pak?”, tanya saya. PDM memang sudah rapat
beberapa kali, tapi ya itu. Masih tarik ulur ndak jelas. Akhirnya karena ndak
ada yang berani mengurus gedung ini. Ya sudah, demi perjuangan saya sampaikan
tekad saya untuk berani menempatinya. Akhirnya jadilah gedung ini, MBS
(Muhammadiyah Boarding School)”, tutur Pak Irham panjang lebar.
“lha anak-anak Pak Irham gimana sekolahnya kalau njenegan pindah ke sini?”.
Tanya saya.
“Ooh, kalau anak saya yang besar sudah lulus SMA, sekarang mau ngelanjutkan
di UNAIR surabaya Mas. Ini juga mungkin pertolongan dari Allah, lebih dekat dan
biaya transportasinya murah meriah. Naik keretanya cuma 2 ribu rupiah, Haha”,
tutur pak Irham dengan semangat.
Saya yakin, kalau kita mau menolong agama Allah pasti Allah akan menolong
kita. Saya kalau untuk berjuang ndak akan eman-eman sama harta. Karena saya
yakin betul sama pertolongan Allah. Seperti kalau saya mau pergi bawa mobil,
saya ndak pernah pakai uang kantor, ya saya pakai uang sendiri. Itung-itung
biar berkah. Biar sekolahnya cepat berkembang. “Luar biasa”, bisik saya dalam
hati.
Lha iya pak, memang seperti itulah. “In tanshurullaha yansurkum”.
Jika kalian mau menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong kalian. Allah
itu tidak akan pernah melanggar janjinya.” Jawabku menimpali.
“Kalau yang kecil sekarang baru kelas 5 dasar. Rencananya anak saya yang
kecil mau saya pindahkan sekolahnya di dekat sini saja biar dekat. Selain itu
juga supaya bisa berinteraksi dengan baik dengan masyarakat sekitar sini.
Buktinya hanya beberapa hari anak saya sudah uakrap sekali sama teman-temannya”.
Saat itu saya jadi berfikir bahwa Allah hanya memilih orang-orang spesial
yang bisa meraih kesuksesan. Sebab meskipun sebuah kesuksesan itu indah, namun kesuksesan
itu identik dengan perjuangan. Artinya, untuk meraihnya kita harus berjuang. Kita
tidak mungkin bisa mecapainya tanpa perjuangan.
Bahkan, bisa jadi perjuangannya begitu melelahkan dan begitu panjang. Jalan
berliku, terjal, dan batu sandungan ada di mana-mana. Ada yang hanya mampu
berjalan separuh, ada yang melihat medannya saja sudah loyo. Memang tidak
mudah, hanya orang-orang tertentu yang pantas mendapatkannya.
Semoga cerita yang singkat ini bisa menginspirasi saudara-saudara untuk
bisa berjuang dengan ikhlas. Berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan membesarkan
persyarikatan dengan penuh perjuangan. Sesuai dengan pesan KH. Ahmad Dahlan,
hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.
*Ziyadul Muttaqin, Freedom Writer in ziyad.web.id
Post a Comment for "Sang Pejuang, Sepenggal Kisah Perjuangan Dakwah"