Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Relasi Pendidikan dan Korupsi


“Belalang menjadi burung elang.
Kutu menjadi kura-kura, dan
Ulat berubah menjadi naga
Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,
Jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.
Syair ini adalah syair yang ditulis oleh seorang pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Potter. Tapi sejatinya ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Munsyi tentu paham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga paham mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. 
Kita menjadi lebih paham setelah membaca bait berikutnya. Letak kesalahannya, menurutnya ada pada lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang hanya mencetak para intelektual semata. Lembaga pendidikan yang seharusnya sebagai wadah tempat menghasilkan generasi-generasi pilihan masa depan justru memutar arah tujuan yang semestinya.  
Lihatlah media baik cetak maupun digital, kasus korupsi seakan tidak ada habisnya di negari kita. Dari mulai kasus Hambalang sampai perseteruan yang hangat-hangatnya antara KPK dan BG maupun Ahok dan DPRD kemarin. Semua itu adalah kasus yang berujung pada kata korupsi. Seakan korupsi di Indonesia sudah menjadi sistem yang terstruktur, masif dan berjalan sistematis. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Pendidikan kita kurang menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang bermuatan moral. Banyaknya masyarakat berpendidikan yang tidak mempunyai adab justru akan merusak bangsa. Merusak tatanan moral dengan peraturan yang dibuat sesuai kepentingan diri atau kelompoknya. Ritual pendidikan memang terus berjalan, tapi tujuannya tidak tercapai. Sementara tujuan dari pendidikan sendiri adalah memanusiakan manusia yang secara fitrahnya adalah makhluk yang beradab tinggi. Lembaga pendidikan Indonesia bisa menghasilkan SDM yang kaya dalam bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen dan lain sebagainya, namun miskin SDM yang beradab.
Bukti konkritnya adalah tidak sedikit pejabat-pejabat maupun para pemegang tampuk pimpinan yang masih mempraktekkan korupsi baik sadar maupun tidak sadar. Tanda-tanda hilangnya adab sekurang-kurangnya ada 3 sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Misykatnya: Kezaliman, Kebodohan dan Kegilaan. Zalim kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan.
Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Seperti menyampur keimanan dengan kemusyrikan, mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan, menginfakkan harta dari hasil korupsi dan sebagainya. Bodoh dalam artian tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya. Sedangkan gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup serta salah arah perjuangan.
Pendidikan seharusnya harus bisa mencerminkan bangunan pandangan hidup. Pendidikan  diharapkan tidak hanya menjadi sarana pengembangan ilmu. Tapi juga merupakan jalan terbaik menuju gerakan moral dan sosial untuk menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.

Post a Comment for "Relasi Pendidikan dan Korupsi"