Aku Dipaksanya Cinta Menulis*
Cerita ini adalah
cerita khas pesantren yang memang mempunyai ciri khas tersendiri dibanding
cerita-cerita lainnya. Cerita ini
berkisah tentang cinta dan kreatifitas yang menjadi kecenderungan manusia. Agar
enak dibaca, cerita ini penulis akan mengganti kata saya menjadi aku agar enak
dibaca dan membawa alur psikologis bagi pembaca.
Karna cinta aku menulis dan aku menulis karna cinta.
“Gadis itu begitu menarik
perhatianku, sebut saja namanya Anisa Farah Zuhrufa. Sebuah nama yang cantik
untuk seorang wanita yang anggun. Saat itu aku duduk di bangku Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) yang berada di lingkungan pesantren. Anisa Farah Zuhrufa menarik
perhatianku karena perilakunya yang
santun, orangnya cerdas, cantik, menarik, dewasa lagi feminim serta pandai
berpidato. Di lingkungan pesantrenku, perjumpaan laki-laki danperempuan tanpa
ada alasan yang dibenarkan tidaklah diperkenankan. Kalaupun membutuhkan
komunikasi dengan snatri putri untuk kepentingan organisasi OSIS atau ORDA
(Organisasi Daerah) misalnya maka harus tetap meminta izin kepada bu Nyai atau
minimal kepada pengurus.
Jika sudah mendapatkan izin maka
pertemuan baru boleh dilakukan, itupun disediankan tempat sendiri, yaitu di
ruang khusus untuk tamu. Menjelang acara organisasi, Aku menemui Anisa untuk
koordinasi. Sebagaimana biasa, aku harus memanggilnya melalui mbok Inah-
pembantu maska Kiai. Saat menunggunya, hatiku deg-degan, bergetar tak karuan.
Disela-sela pembicaraan
organisasi, aku rasakan bahwa ia adalah perempuan yang cukup menarik, baik dan
petensial. “Siapakah gerangan yang akan menjadi pendampingnya?” demikian hatiku
berbicara. Dalam pikiran aku teringat ayat “Manusia dihiasi Tuhan dengan menaruh
rasa cinta terhadap perempuan....”. Apakah aku mencintainy ataukah sebatas
kagum. Tak tahulah, yang jelas dalam perasaanku Anisa Farah adalah seorang
gadis santri yang elok, cerdas memiliki semangat tinggi untuk belajar. Berfikir
untuk pacaran pun aku tak mampu karena cita-citaku untuk belajar setinggi
langit begitu menguasai jalan hidupku.
Setiap mendengar kata pacaran aku
menepisnya dan teringat wasiat Bapakku saat melepas kepergianku belajar di
sini. Ia berpesan agar aku belajar terus sundul langit (setinggi langit)
dan bersikap jujur. Dua wasiat ini yang tidak akann pernah aku lupakan. Suatu
ketika, Anisa Farah bilang bahwa ada sepucuk surat untukku yang ia selipkan
dalam sebuah kitab* yang ia letakkan di atas jendela masjid. “Nanti dibaca dan
dijawab ya” begitu dia bilang sambil meninggalkan ruangan. Hatiku berdetak
keras, “apa isi suarat itu?” aku sungguh penasaran dan tidak sabar untuk
mengtahui isisnya. Semoga saja itu surat cinta atau semisalnya, begitu gumamku.
Sore itu aku langsung ke serambi
masjid samping utara yang biasanya digunakan untuk jamaah ibu-ibu dan kulihat
kitab itu dengan detak jantung lebih keras. Alhamdulillah, kuambil dan kubuka
kitab tersebut dan kudapat surat lipatan dari Anisa Farah.
“Assalamualaikum, aku punya
pertanyaan nich...mau menjawab kan?, kuncinya surga adalah kalimat tauhid, La
ilaha illa Allah, lalu pintunya apa? Kalau ada kunci kan pasati ada pintunya.
Jawab lhi dengan dasar kitabnya, tak tunggu. Wassalam..”
“Wah, kalau ini sih bukan surat
cinta, tapi tes dan ujian sekolah”, demikian gumamku. Tapi tidak apa,
jangan-jangan dia hanya mau ngetes kesetiaanku. Sambil senyum-senyum sendiri
aku segera meninggalkan serambil masjid dan langsung masuk kamar pondok sambil
membayangakan bibir anisa sedang memintaku menjawab pertanyaan tadi.
Alhamdulillah dapat pertanyaan cukup sulit. Sekalian menambah stamina dan
motivasi belajar. Tak apa, dapat pertanyaan seberat apapun dari Anisa Farah
akan tetap kujawab, demikian pikirku.
Semalaman setelah isya’, aku
membuka berbagai kitab rujukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaa Anisa
Farah. Semua kitab yang kumiliki terus aku buka dan terus membacanya dengan
serius. Sesekali aku berhenti, namun segra aku lanjutkan karena meras ditunngu
olehnya. “Aku harus dapat membuat jawaban terbaik dan memuaskan. Aku ingin
menjadi yang terbaik di matanya.
Setelah kudapatkan jawaban
beserta beberapa referensinya, kutulis jawaban tersebut dalam lembaran kertas
terbaik dan kutulis dengan hati-hati, jangan sampai ada kata yang tidak
berkenan. Untaian kata-kata yan bernas dan menarik hati, kominikatif. Saurat
yang berisi jawaban itu kemudian kuletakkan dalam ktab yan kemarin di jendela
masjid. Saat itu kitab dan jendela seakan menjadi agen pos bagi kami berdua.
Syukur Alhamdulillah, jawabku telah dibaca olehnya dan dia merasa puas dengan
jawabanku. Beberapa waktu kemudian dia kembali bertanya dengan pertanyaan yang
beragam tentang agama. Tetapi anehnya aku suka dengan pertanyaan itu dan siap
beralam-malam membuka kitab untuk menjawabnya.
Dalam hatiku, menjawab pertanyaan
Anisa Farah berarti belajar dan mengaji secara mendiri. Kalau pertanyaannya
menjadikan aku bertambah rajin mengapa tidak? Pertanyaan ini juga berguna untuk
persiapan mengajar. Kebetulan saat itu aku juga sering diamanahi oleh Kiaiku
untuk membantu mengajar di Madrasah Diniyah Pondok Putri. Sejak itu aku lebih
semangat membaca kitab. Saat itu surat memang satu-satunya media berkomunikasi,
karena HP pun masih jarang.
Kami tidak pernah pacaran
selaknya muda-mudi remaja sekarang. Perjumpaan rutin kami hanyalah lewat
pertanyaan dan jawaban yang kami tulis secara berkala. Kami berdua merasa lebih
dekat dengan diskusi lewat surat. Semenjak kegiatan diskusi ini menjadi
kebiasaan, tak terasa aku telah dipaksa untuk cinta menulis dan lambat laun aku
berusaha untuk menulis apa saja yan kurasakan penting dalam hidupku. Ada
kepuasan tersendiri saat aku mempu menyguhkan sebuah karya dalam bentuk
tulisan. Karna cinta aku menulis dan aku menulis karna cinta.
*Kitab yang dimaksud adalah kitab
kuning yang menjadi materi kajian santri saat itu.
keren ceritanya, saya baca sampai habis karena menarik sekali :)
ReplyDeleteOk, terima kasih...
Delete