Logika Ukhuwah
Logika Ukhuwwah |
Dalam sebuah kesempatan yang sangat melelahkan, saya sempatkan membuka
beberapa e-book dalam hardisk komputer saya yang sudah outupdate. Tiba-tiba
saya mata saya terkerucutkan dalam sebuah nama file yang jarang sekali saya
buka. Dalam file ebok kitab-kitab fikih, tepatnya e-book fikih Aulawi (fikih
Prioritas) karya Syaikh Yusuf Qardhawi. Dalam salah satu barisnya, mata
saya tertuju dalam sebuah kalimat cerita yang sangat mengesankan dan sangat
menginspirasi pikiran saya ini. Ber-sanad dalam kitab ini Syaikh Yusuf Qardhawi
menceritakan cerita tentang salah seorang pembaharu islam yang merupakan salah
seorang pendiri sebuah gerakan islam di belahan timur nun jauh sana yaitu Ikhwanul
Muslimin.
Beliau merupakan seorang syaikh, guru yangg cerdas nan cadas serta tangkas.
Salah seorang pembaharu mesir yaitu Imam Syahid Hasan al-Banna. Beliau sangat
memberikan perhatian yang besar untuk membentuk generasi muda Muslim yang
istiqamah terhadap dirinya, Allah sebagai tujuannya, Islam jalannya, dan Muhammad
sebagai teladannya. Generasi yang memahami Islam secara mendalam, memiliki iman
yang kuat, menjalin hubungan (silah) yang erat satu sama lain, yang mengamalkan
ajaran itu dalam dirinya sendiri, bekerja dan berjuang untuk mencapai
kebangkitan Islam, serta berusaha mewujudkan kehidupan yang Islami di
masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dia harus menyatukan ummat dan
tidak memecah belahnya. Oleh sebab itu, dia tidak memunculkan isu-isu yang
dapat memecah belah barisan kaum Muslimin, memecah belah kalimatnya, dan
membagi-bagi manusia menjadi berbagai kelompok dan golongan. Untuk itu, dalam
pandangannya, ummat Islam harus disatukan dalam satu landasan Islam yang universal.
Syaikh Yusuf Qardhawi menceritakan kisah dari Syaikh Hasan Al Banna dalam salah
satu peristiwa sebagai berikut:
"Pada suatu hari saya merasakan adanya sesuatu yang aneh, suasana
pertengkaran, keributan, dan perpecahan. Saya melihat para pendengar dalam
ceramah yang saya sampaikan telah terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan mengambil
tempat sendiri-sendiri. Sehingga sebelum saya mulai ceramah, saya dikejutkan
oleh satu pertanyaan, 'Bagaimanakah pendapat ustadz tentang tawassul?' Kemudian
saya menjawabnya, 'Wahai saudaraku, saya kira Anda tidak hanya ingin bertanya
kepadaku tentang masalah itu saja, tetapi Anda hendak bertanya kepadaku tentang
masalah shalat, salam setelah adzan, membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at,
penggunaan kata sayyid untuk Rasulullah saw dalam tasyahhud, tentang nasib kedua
orangtua Nabi saw, di manakah tempat mereka, di surga atau neraka? Dan juga
tentang bacaan al-Qur'an yang dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia apakah
pahalanya sampai kepadanya ataukah tidak? Juga pertemuan yang diadakan oleh
para ahli tarikat, apakah itu kemaksiatan ataukah pendekatan kepada Allah SWT?
Masalah-masalah khilafiyah ini merupakan penyebar fitnah dan perselisihan
pendapat yang sangat dahsyat di antara mereka.' Karenanya, orang yang bertanya
itu merasa heran, lalu dia berkata, 'Ya, saya menginginkan jawaban untuk semua
pertanyaan itu.'" Saya berkata kepada orang itu, "Aku bukanlah
seorang ulama, akan tetapi aku adalah seorang guru yang terpelajar yang hafal beberapa
ayat al-Qur'an, sebagian hadits Nabi saw, hukum-hukum agama yang saya peroleh
dari beberapa buku, dan aku berbaik hati mengajarkannya kepada orang banyak.
Apabila engkau keluar bersama diriku untuk membicarakan masalah-masalah itu,
maka sesungguhnya engkau telah mengeluarkanku dari majelis ini. Dan siapa yang
berkata bahwa dia tidak tahu berarti dia telah memberikan fatwa. Jika kamu
merasa tertarik terhadap apa yang aku katakan, dan melihat ada kebaikan di
dalamnya, maka dengarkanlah apa yang saya sampaikan dengan penuh rasa syukur, dan
apabila engkau hendak memperluas lagi pengetahuan itu, maka bertanyalah kepada
ulama-ulama selain diriku yang memiliki kelebihan dan spesialisasi. Mereka
mungkin dapat memberikan kepuasan yang engkau cari, sedangkan diriku ini tidak
lain hanyalah penyampai ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya." Orang itu kemudian merasa terpukul dengan jawaban
itu, dan tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia sampaikan.
Begitulah cara yang sengaja saya lakukan dalam memberikan jawaban kepadanya, dengan
berkelakar. Semua orang --atau kebanyakan --yang hadir pada pertemuan itu
merasa puas hati dengan adanya penyelesaian seperti itu. Akan tetapi, saya
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Saya berpaling ke arah mereka
sambil berkata, "Wahai saudara-saudaraku, aku menyadari sepenuhnya kepada
saudara kita yang bertanya itu, dan kebanyakan saudara yang hadir di majelis
ini. Menyadari sepenuhnya apa yang ada di balik itu, yaitu untuk mengetahui
siapakah guru baru ini dan dari golongan manakah dia? Apakah dia termasuk
golongan Syaikh Musa. ataukah dari golongan Syaikh Abd al-Sami'? Sesungguhnya pengetahuan
tersebut sama sekali tidak akan bermanfaat untuk kamu semua, karena kamu telah
bergelimang dalam fitnah selama delapan puluh tahun, dan itu sudah cukup. Pertanyaan-pertanyaan
di atas telah diperselisihkan oleh kaum Muslimin selama ratusan tahun dan
mereka hingga kini tetap berselisih pendapat.
Sesungguhnya Allah akan rela kepada kita apabila kita saling mencintai dan
bersatu, dan tidak suka kepada kita apabila berselisih pendapat dan berpecah
belah. Saya berharap bahwa kamu semua sekarang ini mau berjanji kepada Allah
SWT untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut, dan berusaha keras untuk
belajar pokok-pokok dan kaidah agama, mengamalkan akhlak, sifat-sifat yang
baik, pengarahan yang menyatukan ummat, melakukan perkara-perkara yang
difardukan dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan mencari-cari masalah
dan memperdalam masalah khilafiyah, sehingga jiwa semua kaum Muslimin menjadi
jernih, dengan satu tujuan yang hendak kita capai, yaitu mencari kebenaran dan
bukan sekadar mencari kemenangan berpendapat. Dengan cara seperti itu kita dapat
belajar bersama-sama dalam suasana penuh rasa cinta, saling percaya, kesatuan
dan keikhlasan.
Saya juga berharap kamu semua dapat menerima pandangan saya
ini, dan berjanji kepada saya untuk melakukan perkara di atas." "Hendaknya
kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali kita masih memegang janji setia
antara kita, dan hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat untuk
Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk perselisihan pendapat,
menghormati pendapat kita masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang mesti
dilaksanakan." Pelajaran di sudut (zawiyah) masjid itu terus berlangsung dalam
suasana yang jauh dari pereselisihan pendapat berkat taufiq dari Allah. Suasana
pada majelis itu semakin baik, karena setiap topik dalam pengajian tersebut
dikaitkan dengan makna persaudaraan antara orang-orang yang beriman, untuk memantapkan
persaudaraan dalam jiwa mereka.
Di samping itu, masalah khilafiyah senantiasa ditekankan untuk tidak diperdalam
dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian timbul rasa untuk saling
menghormati dan menghargai di antara mereka. Cara seperti itu saya pergunakan
sebagai contoh dari para ulama salaf yang shaleh, yang wajib kita tiru dalam memberikan
toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di antara kita. Saya sebutkan
satu contoh yang sangat praktis, saya berkata kepada mereka, "Siapakah di
antara kamu sekalian yang bermazhab Hanafi?" Kemudian ada salah seorang di
antara mereka yang datang kepadaku. Lalu aku berkata lagi, "Siapakah di antara
kamu yang bermazhab Syafi'i?" Ada seseorang yang maju kepadaku. Setelah
itu aku berkata kepada mereka, "Aku akan shalat dan menjadi imam bagi
kedua orang saudara kita ini. Bagaimana kamu membaca surat al-Fatihah wahai
pengikut mazhab Hanafi?" Dia menjawab, "Aku diam dan tidak
membacanya." Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana engkau wahai kawan
yang bermazhab Syafi'i?" Dia menjawab, "Aku harus membacanya." Kemudian
aku berkata lagi, "Setelah kita selesai shalat, maka bagaimanakah pendapatmu
wahai pengikut mazhab Syafi'i tentang shalat yang dilakukan oleh saudaramu yang
bermazhab Hanafi?" Dia menjawab, "Batal, karena dia tidak membaca
surat al-Fatihah, padahal membaca al-Fatihah termasuk salah satu rukun
shalat."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana pula pendapatmu wahai
kawan yang bermazhab Hanafi tentang shalat yang dilakukan oleh saudara kita
yang bermazhab Syafi'i?" Dia menjawab, "Dia telah melakukan sesuatu
yang makruh dan mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat al-Fatihah pada
saat seseorang menjadi ma'mum adalah makruh tahrimi." Lalu aku berkata,
"Apakah salah seorang di antara kamu berdua memungkiri yang lain?"
Kedua orang itu menjawab, "Tidak." Kemudian aku bertanya kepada
orang-orang yang hadir di situ, "Apakah kamu memungkiri salah seorang di
antara mereka berdua?" Mereka menjawab, "Tidak." Lalu aku
berkata, "Subhanallah, kamu semua dapat diam dalam menghadapi masalah seperti
ini, padahal ini adalah perkara yang berkaitan dengan batal dan sahnya shalat.
Pada saat yang sama kamu tidak dapat memberikan toleransi kepada orang yang
dalam shalatnya membaca "Allahumma shalli ala Muhammad" atau
"Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad" dalam tasyahud, serta
menjadikannya sebagai bahan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat."
Itulah sepintas cerita yang saya peroleh dalam kitab Fiqih Aulawi
(Fikih Prioritas) buah karya Syaikh Yusuf Qardhawi. Dialog singkat dan padat
serta mengena. Beginilah seharusnya kita sebagai seorang muslim yang tau
tentang agama. Tidak seharusnya kita memperkeruh keadaan dengan
memperselisihkan perbedaan yang sifatnya hanya perbedaan pendapat yang ringan.
Sebut saja sebagai contoh ringannya saja tentang bacaan-bacaan sholat seperti
do’a iftitah, do’a sujud dan rukuk dalam sholat dan lain sebagainya. Begitu
pula masalah khilafiyah dewasa ini yang sering terjadi di indonesia seperti
perbedaan penentuan awal ramadhan dan akhir ramadhan yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat indonesia. Tidak seharusnya hal tersebut dipertentangkan
sehingga mengikis persaudaraan yang telah lama dibangun dengan susah payah.
Bila kita tilik kembali dan kita proyeksikan ke masa lalu para sahabat pun
sebenarnya banyak sekali perbedaan diantara mereka. Terlebih mereka sudah
tersebar luas di daerah yang luas. Namun hal tersebut tidak mereka
perselisihkan dan tidak menjadi problema yang akut mengikis ukhuwah diantara
sahabat. Maka begitu pula seharusnya kita sebagai umat islam sekarang yang
mengaku sebagai pengikut Nabi dan para sahabatnya yang mulia. Mereka memahami
khilafiyah itu, begitu juga kita seharusnya memahami khilafiyah tersebut dan
tidak malah mempertajamnya. Salam Ukhuwah Untuk Kita Semua.
Post a Comment for "Logika Ukhuwah"