Menulis Adalah Investasi Sejarah
Dalam sebuah kesempatan waktu luang, saya membaca sebuah kalimat kecil dalam halaman depan buku kuliah saya, “Jika
anda ingin tidak dilupakan orang segera setelah anda meninggalkan almamater,
maka tulislah sesuatu yang patut dibaca atau berbuatlah sesuatu yang patut
diabadikan (franklin)”. Setelah itu saya sempatkan untuk menulis sebuah
artikel tentang makna sebuah tulisan ini. Memang pada kenyataannya tidak banyak
yang memilih jalan ini. Entah apa alasannya, yang pasti menurut saya menulis
adalah sebuah perjalanan hidup yang mulia dan salah satu investasi sejarah.
Mengapa harus menulis? Pertanyaan yang simpel dan perlu jawaban yang simpel
pula. Karena menulis itu untuk investasi masa depan, sebagai sarana membangun
sejarah peradaban. Meminjam istilah Anis Baswedan, boleh dikatakan pula bahwa
menulis merupakan salah satu cara melunasi janji kemerdekaan bangsa kita,
bangsa indonesia.
Dengan menulis akan menghasilkan sesuatu yang tiada menjadi ada. Dengan
menulis ilmu yang terbayang dalam fikiran dapat disalurkan dan diaktualisasikan
dalam kancah realitas. Bahkan buahnya dapat memberi manfaat bagi penulis
sendiri maupun bagi para pembacanya. Sehingga ilmu tersebut dapat hidup di
lingkungan nyata, inilah makna real dari menulis. Kalau kau ingin di kenang
dalam sejarah maka menulislah.
Ada sebuah cerita yang menarik mengenai kisah tulis-menulis. Ada tiga orang
dokter muda yang cerdas, cantik dan tingkat pemahaman sosialnya tinggi. Ketika mereka bertiga telah lulus
dari almamater mereka, mereka berkumpul dan membuat kesepakatan dan janji
setia. Siapa yang yang paling banyak membantu masyarakat dan berjasa besar
dalam menolong kesengsaraan umat, khususnya dalam bidang kesehatan. Mereka
bersepakat berjanji akan bertemu suatu ketika 10 tahun lagi di tempat itu.
Sepuluh tahunpun telah berlalu setelah mereka berpisah dan kini saatnya
mereka bertemu kembali di tempat itu. Suasananya pun beda dari pertama kali
mereka berpisah dulu. Akhirnya mereka saling bertanya, siapa yang diantara mereka
yang paling banyak berperan aktif dalam masyarakat, khususnya dalam bidang
kesehatan. Dokter yang pertama bercerita, dia sekarang bekerja di sebuah rumah
sakit besar dan sangat ramai dikunjungi masyarakat. Tentunya rumah sakit itu
sangat penting dan sebagai tempat sentral untuk melayani kesehatan masyarakat
secara luas. Dia melanjutkan ceritanya bahwa ia telah menolong sebanyak dua
puluh ribuan lebih orang yang memerlukan
bantuannya.
Sedangkan dokter yang kedua bercerita, bahwa seluruh hidupnya ia dedikasikan
sebagai seorang dokter yang mengabdi kepada masyarakat di tampat bencana, ia
pernah menjadi dokter sukarelawan pada saat gempa Aceh, gempa Bantul, di
Yogyakarta, Nias dll. Sudah banyak dan tak terhitung bantuannya dalam bidang
kesehatan masyarakat. Ia melanjutkan ceritanya bahwa ia sudah menolong lebih
dari lima puluh ribu lebih orang yang memerlukan bantuannya.
Sementara mendengarkan kedua rekan lamanya bercerita ini itu, sang dokter
yang ketiga hanya tunduk lesu menatap wajah ceria kedua rekannya tersebut.
Pasalnya selama sepuluh tahun ini ia tidak melakukan hal-hal yang berarti.
Ia hanya membantu dan merawat ibunya
yang telah lama lumpuh dan sakit-sakitan, sementara suaminya sibuk mencari
nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sebenarnya ia telah memiliki pekerjaan
sebagai dokter di tempatnya tinggal. Akan tetapi demi Ibunya ia rela merawat
Ibunya, karena ia lah satu-satunya anak yang menjadi harapan hidup Ibunya.
Sempat terbersit dalam hatinya akan rasa putus asa, akan tetapi dengan dorongan
keimanan yang kuat ia berkeyakinan bahwa suatu saat ia akan memperoleh balasan
yang berlimpah yang tidak pernah ia duga dari sang Maha Kuasa. Akhirnya ia
memulai hidupnya kembali dengan membaca buku-buku kedokteran dan ilmu-ilmu
lainnya. Ia selalu membaca dan membaca, sampai akhirnya ia memutuskan untuk
menulis. Tulisan-tulisannya banyak dan telah diterbitkan oleh sejumlah penerbit
dan banyak bermanfaat bagi orang lain. Bahkan jumlah bukunya dan sejumlah
artikelnya hampir mancapai angka ratusan. Tulisan-tulisannya juga telah masuk
dalam jurnal-jurnal internasional.
Kedua rekan lamanya tersebut mendengarkan dengan saksama, seolah tak ingin
ketinggalan sepatah kata pun dari lisan temannya itu. Akhirnya keduanya sepakat
bahwa rekan mereka inilah yang menjadi pemenangnya. Ternyata selama sekian
tahun keduanya membaca dan menjadikan referensi buku dari rekan dokternya itu
untuk referensi pengembangan pengetahuan mereka. Sungguh tepat bila saya
ungkapkan bahwa menulis merupakan wujud lain dari sebuah investasi peradaban
dunia. Dengan menulis kita dapat membuat langkah-langkah yang strategis,
menelurkan ide-ide cemerlang dan yang paling penting adalah dapat memberi
manfaat kepada orang lain.
Coba kita feedback pada masa-masa kajayaan islam. Banyak orang-orang
besar yang mereka menjadi besar, masyhur dan mempunyai semangat revolusioner
yang kuat. Kita mengenal orang-orang besar pada zaman itu seperti Ibnu Sina
sebagai ahli kedokteran yang banyak memberi inspirasi tentang ilmu kedokteran
dengan karyan monumentalnya al-Qanun fi tibb, Abu abakr ar-Razi (penemu
penyakit cacar), Ibnu nafs (ahli biologi), imam ghazali (ahli filsafat), Ibnu
Taimiyah (seorang mujahid, mujaddid dan tokoh revolusioner) yang ratusan
karyanya bahkan mencakup berbagai bidang ilmu. Di Indonesia juga ada
tokoh-tokoh yang sangat respek dalam dunia kepenulisan. Kita lihat saja
misalnya Buya HAMKA dengan tafsir al-Azharnya dan tulisan-tulisannya tentang
roman, filsafat modern, M. Natsir yang tulisan-tulisannya mampu
merevolusionerkan generasi-generasi sesudahnya.
Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak menulis, maka
tuangkanlah tulisan. Menulislah. Siapa lagi kalau bukan kita sebagai orang
muslim yang mewarisi dunia keilmuan dalam kejayaan islam?. Sekedar tahu bahwa
kamus arab al-Munjid pengarangnya adalah seorang Nasrani, bukan islam, yaitu
pendeta Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassa’i. Padahal
kamus tersebut adalah kamus yang banyak digunakan oleh kaum muslimin di
Indonesia dan telah banyak dikonsumi oleh orang islam.
Akhirnya tulisan ini saya akhiri dengan kutipan sebuah mutiara hikmah dari
Imam al-Ghazali “kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar,
maka jadailah seorang penulis”. Jadi
mari kita tuangkan intelektualitas kita, ide-ide kita, kekritisan kita, bahkan
idealisme kita untuk mendobrak gerakan revolusioner, terutama dalam kaitannya
dengan islam. Jangan sampai ada karya dalam islam yang di tulis oleh orang
selain islam.
Post a Comment for "Menulis Adalah Investasi Sejarah"