Dimensi Paradigma
Dalam hidup di dunia ini ada sebuah istilah yang mungkin sering kali kita tidak menyadarinya. Bahkan kitasering mengabaikan dan menyepelekannya. Mungkin karena kita tak memperhatikan atau mungkin terlalu sering hinggap di telinga kita sehingga sampai tak menyadarinya. Seseorang yang dianggap pelaku kekerasan oleh sekelompok lain akan disebut sebagai pembela kebenaran oleh sekelompok lain juga. Seseorang yang dianggap teroris di tempat lain ia pasti mendapat julukan pahlawan di tempat lain. Jangan lupakan itu !. Ini bukan hanya sebatas omongan atau isapan jempol belaka. Ini telah terbukti, bukan hanya sebuah teori klasik yang entah itu empiris ataukah tidak. Banyak realitas yang menunjukkan hal ini. Kita tahu bahwa roda senantiasa berputar, orang yang paginya kaya belum tentu sorenya akan kaya juga, bisa jadi mendadak melarat. Orang yang malamnya sehat belum tentu paginya bangun dalam keadaan sehat, anda yang sekarang masih bisa membaca tulisan ini belum tentu bisa membaca tulisan ini di lain waktu. (makanya lahap langsung ini tulisan, hehe)
Seorang da’i atau mubaligh yang sering nongol di televisi pun tak luput dari persepsi paradigma yang seperti ini. Ada sebagian masyarakat yang mendukung abis-abisan kontes da’i muda pilihan yang ditayangkan di berbagai televisi swasta di indonesia ini. Tidak usah saya sebut ajang apa itu, saya kira para pembaca sudah tau bahkan lebih tahu dari saya sendiri. Banyak masyarakat di indonesia ini yang sangat simpatik dan friendly dengan tayangan-tayangan semacam itu, mereka beranggapan kontes semacam itu bertujuan sangat mulia sebagai bentuk pengkaderan ulama atau da’i yang sangat dibutuhkan ummat. Akan tetapi di lain tempat, di lain waktu dan di lain dimensi rasa pula, sebuah masyarakat lain berpandangan bahwa kontes seperti itu hanya sia-sia saja. Hanya sebuah trensester sebagai akibat dari masuknya bulan ramadhan. Kita pun sudah tau, banyangkan saja pada bulan ramadhan ini pun banyak sekali kontes-kontes da’i-da’i pilihan televisi yang entah niatnya apa, apakah ingin dapat duit puluhan juta, ataukah kerena pengen popularitas yang menggiurkan yang ditawarkan oleh televisi?. Entahlan. Itu terserah mereka. Akan tetapi yang pasti ada sebagian orang yang mencemooh hai tu sebagai hal yang kurang baik, tidak bermanfaat, menghabis-habiskan biaya dan seambrek pandangan-pandangan lain yang bisa dikatakan jelek dan kurang siip. Yah, itu sebuah paradigma hidup.
Tak beda jauh dengan kejadian-kejadian di negeri kita ini. Indonesia. Kasus korupsi yang membeludak ini membuat KPK berteriak lantang. Membuat para petinggi-petinggi negara meragukan kualifikasi KPK. Tak hanya itu, banyak dari parpol-parpol yang meragukannya, lepas dari persoalan apakah ada udang dibalik batu ataukah udang dibalik tempong ( makanan dari udang di campur tepung yang di goreng). Tentang hal ini banyak sekali yang mendukung kerja KPK bahkan mengapresiasi kinerjanya. Akan tetapi disatu sisi tak sedikit pula yang menjadikan kemunduran KPK saat ini sebagai kesempatan emas untuk sekalian saja melibas habis komisi independent ini. Tak hanya itu peran-peran dan sinyal-sinyal politik di KPK-pun mau mereka masuki. Sungguh tragis memang. Tapi inilah realitas saat ini. Lepas dari paradigma yang berbeda ini, yang pasti disetiap zaman, disetiap masa, di setiap waktu, disetiap tempat dan disetiap elemen, pasti ada sebuah perbedaan persepsi. Dan itu memang harus ada dan wajib ada. Itulah sebauh perbedaan.
10/08/2013
17:03 Wib
Post a Comment for "Dimensi Paradigma"