Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Temaram Senja dengan Debu-debu Tuhan

Temaram Senja dengan Debu-debu Tuhan
Temaram senja di Kaliurang
Berawal dari sebuah sore menjelang magrib di teras depan. Tatkala kegelapan malam mulai menerjang menghempaskan terangnya siang. Tatkala angin-angin sore mulai berisik bergantian bekerja. Bertukar sambil bertasbih kepada Tuhannya. Tatkala dinginnya udara yang menusuk dinginnya kulit, menyibak rambut badan yang mulai bertingkah, menjerit, tertusuk hawa dingin di kaliurang. 

Dalam koran Republika edisi hari ini, Munggu, 04 Mei 2014. Debu-debu Tuhan menghentikan langkah mataku di deretan huruf-huruf yang mulai menari-nari dalam kening di dahiku. Sebuah realitas keadaan dengan dibungkus temaramnya senja langit yang kelabu. Dirundung sedih dikala senja, dengan perangai debu-debu Tuhan yang menyibakkan gelapnya malam. Penuh dengan kenestapaan melihat debu-debu yang menutupi rangkaian keseharian. Menjalar menyibakkan terangnya siang dengan kegelapan dosa yang temaram remang. Dalam hati yang penuh dengan kenastapaan.

Kuingat sekali sebuah tragedi nyata beberapa bulan yang lalu. Ketika debu-debu Tuhan meradang menetapkan nasib kenestapaan dalam keluargaku. Atap rumahku roboh, ya. Roboh sebagian. Terasa panas hati ini mengingat-ingat kejadian disana. Ketika adik kecilku sedang bersendau senang dalam rumah reot itu. Rumah yang penuh dengan saksi lika-liku kehidupan keluarga. 

Rumah tua dengan tipe joglo kuno beratap tinggi menjulang. Persis seperti bangunan benteng yang telah lapuk dimakan usia. Dan debu-debu Tuhan itu mengingatkanku kesana. Ketempat dimana aku dibesarkan. Ku tak sanggup membayangkan apabaila kejadian serupa mengenai kelurgaku. Ku tak bisa. Yang hanya adalah sebuah penolakan histeris dan gagap keadaan. Rasa bersalah yang terakumulasi dalam dada ini begitu besar.

Begitu besar rasanya hingga tak sanggup ku memikul beban berat. Karna aku, adik-adikku terabaikan. Karna aku, ayah ibuku merana, karna aku rumah kami berantakan tak karuan. Kelak aku bertekat untuk membangun, membangun peradaban keluarga. Kupasrahkan raga ini untuk keluarga, kedua orang tuaku dan kepada adik-adikku semata. Aku ingin berkhidmat kepada pemilik sang waktu, aku ingin berkhidmat kepada kedua orang tuaku . 

Orang Tua is Pahlawan
Ayah, Ibu tunggulah, doakanlah. Kelak anakmu akan membantumu memikul beban keluarga ini, insyaallah. Walau sempoyongan kelak anakmu ini akan menjunjung tinggi pelajaran hidup dari kalian, insyaallah.  Kelak anakmu ini akan menceritakan kisah pahlawan kalian kepada anak turunmu. Ya Allah kabulkanlah,,

“Ayah, bagaimana nanti masa depanku?” Tanyaku kepada ayah.
“Tak usah khawatir, kamu belajarkah yang serius, yang pinter saja. Untuk biaya sekolahmu tenang saja, tak usah dipikirkan”, jawab ayah dengan tegap.
Beliau memang selalu seperti itu. Tentu saat itu aku tak mengerti apa-apa. Seolah mengiyakan apa yang dikatakan oleh ayah. Semakin kesini aku menyadari dan bertanya dalam hati, tentu namanya orang tua pasti tak akan membiarkan anaknya susah. Bahkan kalau bisa seluruh hidupnya akan diberikan kepada anaknya dengan rasa bangga. Apapun keadaannya. 

Orang tua tak akan memberitahu kesusahannya kepada anaknya. Sebagai anak, aku tak tahu menahu darimana ayah mendapatkan biaya sekolahku. Sedangkan untuk makan keseharian saja pas-pasan. Ayah pasti bekerja keras. Banting tulang siang malam untukku dan untuk keluarga. Semua itu demi kehidupanku dan adik-adikku kelak.

Bersambung...


Post a Comment for "Temaram Senja dengan Debu-debu Tuhan"