BerOrganisasi di Muhammadiyah itu Tempat Segala Macam Karakter Orang. Kamu termasuk yang mana?
Ada yang awalnya ikhlas masuk organisasi, berkecimpung dan bekerja serius, seiring berjalannya waktu jadi punya ambisi pribadi karena melihat potensi untuk mengeruknya.
Ada yang maunya ikut organisasi karena dapat projek di lahan yang basah. Kalau lahannya kering, melirikpun tak mau apalagi nyemplung.
Ada yang ikut organisasi sekedar biar punya identitas, supaya terlihat punya "wadah", walau sebenarnya nggak pernah aktif.
Ada yang sudah mapan, duit organisasipun masih diembat. Minimal dihutang secara pribadi tanpa kejelasan. Ya karena sifat manuso itu nggak pernah puas.
Ada yang ikut organisasi karena sejak awal punya kepentingan pribadi ya ada, mau nyalon dewan misalnya. Walaupun endingnya nggak jadi, ealah
Ada yang masuk karena ikut-ikutan teman, tanpa tahu tujuan organisasinya apa.
Ada juga yang awalnya semangat karena merasa panggilan hati, tapi begitu ketemu intrik dan politik internal, malah mundur pelan-pelan.
Ada yang benar-benar tulus, mau berkontribusi dan berjuang, walau kadang justru dimanfaatkan oleh yang lebih licik.
Ada pula yang menjadikan organisasi sebagai batu loncatan untuk jaringan, relasi, atau bahkan bisnis pribadi.
Ada yang ikut organisasi karena ingin belajar, cari pengalaman, cari guru, tapi akhirnya malah jadi kuli organisasi seumur hidup.
Ada yang dari awal bawa bendera idealisme, teriak-teriak perubahan, tapi begitu dapat jabatan atau fasilitas, idealismenya langsung menguap.
Ada yang pinter main dua kaki: di depan ngomong soal perjuangan kolektif, di belakang sibuk ngurusin kepentingan pribadi.
Ada yang niatnya mulia, tapi lama-lama justru tersingkir karena nggak pandai “bermain politik dalam”.
Ada juga yang menjadikan organisasi cuma formalitas: buat titel di CV, biar kalau ditanya orang ada “embel-embelnya”.
ada yang ikut organisasi karena memang jiwa pengabdi: nggak peduli jabatan, nggak peduli uang, baginya organisasi itu soal kebermanfaatan.
Ada yang kalau rapat paling rajin hadir, tapi bukan untuk membahas program—melainkan karena konsumsi rapatnya enak.
Ada yang hobi tampil di depan, tapi giliran disuruh kerja di belakang layar langsung menghilang entah kemana.
Ada yang sibuk foto-foto kegiatan, upload di media sosial, padahal kontribusinya cuma jadi figuran.
Ada yang kelihatan “garang” di luar, tapi sebenarnya sekadar numpang nama biar dapat perlindungan.
Ada yang doyan banget bikin proposal ke sana-sini, tapi kalau ditanya program nyatanya, nihil.
Ada juga yang kerjanya nyari posisi strategis, bukan untuk berbuat lebih, tapi biar gampang tanda tangan dan cairkan dana.
Dan jangan lupa, ada pula tipe “kupu-kupu malam”—hanya muncul kalau ada pembagian amplop atau proyek.
Ada yang cuma jadi “penonton abadi”: hadir di kegiatan, ikut tepuk tangan, tapi tak pernah menyumbang gagasan maupun tenaga.
Ada yang mentalnya tukang klaim: kalau program sukses, merasa dirinya paling berjasa; kalau gagal, cepat-cepat menyalahkan orang lain.
Ada juga yang baperan: sekali keinginannya nggak dituruti, langsung ngambek, mundur, bahkan bikin organisasi tandingan.
Ada yang ikut organisasi karena faktor warisan keluarga—turun-temurun, tanpa benar-benar paham visi misinya.
Ada yang menjadikan organisasi sebagai ajang cari panggung: bukan untuk organisasi, tapi biar dirinya eksis.
Ada pula yang benar-benar berjiwa penggerak, tulus bekerja tanpa pamrih, walau sering dianggap remeh dan disisihkan oleh mereka yang lebih lihai berpolitik.
Ada yang menjadikan organisasi sebagai arena gladi resik politik, jadi tiap langkahnya selalu dihitung untuk kepentingan pencalonan di masa depan.
Ada yang masuk organisasi cuma buat stempel gengsi: biar namanya terpajang di struktur, meskipun nggak pernah nongol.
Ada yang jadi jago lobi, kelihatannya tenang, tapi diam-diam mengatur arah organisasi sesuai kepentingannya.
Ada juga yang selalu bersembunyi di balik kata ‘kaderisasi’, padahal niatnya cuma menyiapkan barisan loyalis pribadi.
Ada yang rajin sekali membuat jargon, slogan, dan quotes perjuangan, tapi pas diminta kerja nyata, mendadak jadi penyair sunyi.
Ada yang hobi bikin konflik, karena dari ribut-ribut itulah ia bisa tampil sebagai “penyelesai masalah” sekaligus naikin posisi.
Ada yang tak pernah belajar dari sejarah, padahal jatuh bangun organisasi sudah berulang kali sama polanya.
Ada yang ketika awal masuk organisasi bersuara keras soal integritas, tapi ketika sudah ada di dalam lingkaran kuasa, ikut arus dengan alasan “realitas politik”.
Dan
tentu saja, ada yang ikut organisasi karena cinta sejati: cinta pada
masyarakat, cinta pada nilai perjuangan dan setia meski tidak
pernah diberi imbalan.
@ziyadquds
Post a Comment for "BerOrganisasi di Muhammadiyah itu Tempat Segala Macam Karakter Orang. Kamu termasuk yang mana?"