Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Feminis

Tafsir Feminis
Di era globalisasi , tantangan pemikiran (gazwul fikr) telah merambah ke dalam studi Islam , yang tidak hanya terbatas pada fiqh dan hadist saja. Tetapi ia juga masuk dalam studi al-Qur’ân yang merupakan jantung ilmu-ilmu keIslam an.  Salah satu tantangan tersebut adalah gerakan feminisme.
Dengan pengamatan sepintas saja, setiap pengamat keperempuanan dapat melihat bahwa, perempuan sepanjang sejarah peradaban manusia hanya memainkan peran sosio-ekonomi yang kecil jika dibandingkan dengan laki-laki, apalagi dibidang politik. Sebaliknya, peran domestik perempua lebih menonjol, baik itu menjadi isteri, ibu dari anak-anak maupun sebagai ibu rumah tangga.  Hal ini menyebabkan adanya anggapan yang mengendap di alam bawah sadar masyarakat bahwa laki-laki sebagai jenis kelamin utama (the prime sex) dan perempuan sebagai sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). 

Ada beberapa pendapat yang menyebutkan tentang penyebab perempuan mimiliki kedudukan seperti di atas, yakni:
  1. Pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan fitrah masing-masing, sehingga secara alami telah terjadi konsensus pembagian yang sedemikian rupa.
  2. Pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan akibat dari ketidak mampuan perempuan bersaing secara objektif dengan laki-laki.
  3. Pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut berangkat dari asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki sehingga sudah sepantasnya laki-laki mendominasi kehidupan.

Bagi Asghar Ali Engineer dalam bukunya Hak-hak Perempuan dalam Islam  ia menyatakan dalam pendapat ketigalah yang paling benar. Agama Islam  adalah agama rahmatan lil âlamîn selalu menjunjung keadailan dan aspek-aspek yang dapat mewujudkan tercapainya fungsi agama sebagai pewujud rahmatan lil âlamîn. Jika melihat fenomena di atas, maka timbul pertanyaan apakah memang seperti itu keadilan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an?. Maka dari itu sangat diperlukan adanya pembahasan mengenai kedudukan sebenarnya dari perempuan sehingga bisa mewujudkan prisnsip-prinsip rahmatan lil âlamîn. 

Pangkal munculnya permasalahan ini bukan ada pada al-Qur’annya tapi pada penafsirannya.  Para feminis menilai penafsiran para ulama tidak menunjukkan sisi keadalian bagi perempuan, sehingga mereka membuat penafsiran yang berbeda dengan pera ulama tafsir klasik (seperti Asghar Ali Engineer).  Dengan latar belakang tersebut maka sangat diperlukan pemaparan mengenai Pengertian tafsir feminisme, asumsi dasar, metodologi, dan contoh penafsiran feminisme 

Pengertian tafsir feminisme
Istilah feminisme secara etimologis berasal dari bahasa latin yakni femina= yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi feminine, woman yang berarti memiliki sifat-sifat wanita. Kemudian kata itu ditambah “ism” menjadi feminism, yang berarti hal ihwal tentang perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. 

Feminisme dipergunakan untuk menunjuk suatu teori tentang persamaan kelamin (sexual equality) antara laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan pengertian feminisme yang dilontarkan oleh  Abdul Mustaqim mengutip Kamla Bahsin dan Nighat Said Khan ialah suatu kesadaran atas adanya penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan di dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.  Pada perkembangan selanjutnya feminisme sering diartikan sebagai pembelaan terhadap hak-hak perempuan yang didasarkan pada keyakinan tentang kesamaan jenis kelamin.  Istilah feminisme yang mulai digunakan pada tahun 1985 adalah pengganti dari womanism yang dilahirkan pada tahun 1980-an . 

Gerakan feminisme bermula dari negara-negara maju dan selajutnya diikuti oleh negara-negara muslim meskipun memiiki intensitas, corak dan keberhasilan yang berbeda-beda.  Masuknya gerakan feminisme dalam studi al-Qur’an, dilatarbelakangi oleh ketidakpuasaan pegiat feminis dalam membuktikan bahwa ajaran Islam  mendukung ajaran patriarki.  Karena berasal dari dunia barat maka respon umat Islam  terhadap feminisme tidak 100% mengiyakan atau menolaknya, dalam hal ini umat Islam  terbagi menjadi dua kelompok: 
  1. kelompok yang berpendapat bahwa hubungan jender dalam masyarakat Islam  sudah sesuai dengan ajaran Islam, yang mendudukkan perempuan pada posisi yang terhormat tidak lebih rendah dari laki-laki. Dengan kata lain kelompok ini menganggap bahwa feminisme tidak relevan untuk diterapkan dalam masyarakat muslim dan menghendaki status qou. 
  2. Kelompok yang berpendapat bahwa dalam kenyataan kehidupan sosial masyarakat muslim, perempuan masih diperlakukan tidak adil, yakni mereka belum mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam hubungan kesetaraan gender, kelompok ini disebut feminis muslim.

Kelompok pertama berargumen bahwa feminisme sebagai gerakan pembebasan perempuan dari belenggu penindasan sosial hanya cocok untuk barat yang menempatkan perempuan dibawah posisi laki-laki dalam struktur sosial. Sedangkan kelompok kedua berpegang pada prinsip dasar ajaran Islam yakni keadilan, kesetaraan, kepantasan, Musyawarah. 

Tokoh-tokoh feminis muslim yang pengaruhnya cukup besar di Indonesia adalah Riffat Hasan (Pakistan), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), Fatima Mernisi (Maroko), Asghar Ali Engineer (India), Nasr Hamid Abu Zayd, sedangkan tokoh feminis muslim yang terkenal dari Indonesia, diantaranya adalah Nasaruddin Umar, Masdar F Masudi, Mansour Fakih, Wardah Hafizh, Nurul Agustina, Ratna Mega Wangi, Suti Ruhainiada dan Musda Mulia. Selain mereka ada juga feminis muslim yang kurang populer tetapi ia juga sebagai pejuang wanita yakni Quraisy Shihab, Nurcholis Majid dan Jalaluddin Rakhmat. 

Tafsir feminisme adalah hasil pemikiran kaum feminis di dalam menafsir ulang ayat-ayat al-Qur’an sebagai cara untuk mengungkapkan kepada dunia tentang hak-hak wanita yang selama ini hanya didominasi oleh kaum laki-laki , atau dengan definisi pemahan ulang terhadap al-Qur’an mengenai ayat-ayat tentang perempuan dengan menonjolkan sisi keadilan, persamaan, kepantasan antara kedudukan laki-laki dan perempuan 

Metodologi
Tafsir feminisme termasuk tafsir yang kontemporer, karena baru muncul di akhir abad 20. Metodologi yang digunakan dalam tafsir feminisme ini adalah metode tematik atau maudhu’i karena tidak mungkin menggunakan metode tahlili, pendekatannya menggunakan pendekatan bir ra’yi karena jika menggunakan pendekatan bilma’tsur akan menghasilkan hasil yang sama, kalaupu penafsiran feminisme menggunakan pendekatan bilma’tsur, maka pasti pemahaman terhadap nas nya tidak sama  dengan yang dipahami oleh para ahli tafsir klasik, baik itu pemahan tentang tekstual kontekstualnya, tsawabit dan mutaghayyirat, ushul dan far’u,  makna nas, makna kalimat bahkan sampai makna kata.

Para Penafsir feminis menganggap semua tafsir sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal dan p ersonal tidak ada salahnya ditafsirkan dengan cara berbeda yaitu dengan mengedepankan konteks daripada teks mereka tidak merujuk kepada penafsir-penafsir klasik karena hal demikian dianggap lebih adil dan menguntungkan semua pihak tanpa ada golongan yang dirugikan. Misalnya dalam ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan wanita, pembagian waris, hingga persoalan poligami. Semua itu terasa menyudutkan kaum perempuan.Tujuan dari tafsir feminis ini adalah menyetarakan antara kedudukan laki-laki dan perempuan.

Asumsi Dasar
Misi utama al-Qur’an adalah untuk membebaskan manusia dari segala macam bentuk tindakan anrki, ketimpangan dan ketidak adilan,  jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut maka penafsira tersebut harus dtinjau kembali, karena Allah adalah zat yang maha adil maka tidak mungkin di dalam kitab sucinya terkandung sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut. 
Di dalam al-Qur’an disebutkan tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender dengan menggunakan variabel sebagai berikut: 

-Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai  hamba, sebagaimana QS. Dzariyat [51]: 56, dan ukuran kemuliaan hamba adalah ketakwaan QS. Al-Hujurat [49]: 13 tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan juga akan sama dalam hal mendapatkan penghargaan dari amalnya. Secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an antara laki-laki dan perempuan dalam penghargaan amal yakni QS. An-Nahl [16]: 97 
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. 

-laki-laki dan perempuan sama–sama menjadi khalifah di bumi, Allah berfirman dalam QS. Al-An’am [16]: 165

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

Semua bisa menjadi khalifah dengan berpegang paka kata wa rafa’a ba’dakum ba’da tanpa menyebutkan laki-laki ataupun perempuan.

-Laki-laki dan perempuan sama–sama menerima perjanjian primordial (paling awal) yakni dalam QS. Al-A’raf [7]: 172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
 قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ 

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Semuanya mengiyakan baik itu laki-laki ataupun perempuan.karena disini  disebutkan bai adam. 

-Adam (laki-laki) Hawa (perempuan) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Dari awal penciptaan Adam sampai keduanya ditrunkan ke bumi selalu menggunakan kata ganti  Humaa, tumaa seperti pada QS. Al-Baqarah [2]: 35 keduanya diciptakan dan memanfaatkan fasilitas di surga , QS. Al-A’raf [7]: 20 mendapatkan godaan dari syaitan,  QS. Al-A’raf [7]: 22 memakan buah khuldi dan diturunkan dari surga.  

-Contoh tafsir Feminis (analisis Gender)
Dalam kesaksian perempuan, menafsirkan ayat tentang hutang-piutang dalam Q.S. (2:282):
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ 
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.

Dari ayat di atas muncul dua permasalahan yakni, 
  1. Mengapa jika tidak ada dua laki-laki harus diganti dengan 1 laki-laki da 2 perempuan?, kenapa tidak 1 laki-laki dan 1 perempuan saja?, apakah itu tidak berarti merendahkan perempuan?
  2. Apakah perlakuan 1:2 ini berlaku khusus pada kesaksian transaksi kredit saja, atau untuk semua urusan yang memerlukan kesaksian seperti akad nikah, hudud dll?

Permasalahan pertama, zamakhsari mengatakan 2 perempuan sebagai ganti dari 1 laki-laki tapa menyebutkan alasannya, al-Alusi menyebutkan 1 alasan yakni, karena sifat perempuan memang pelupa, sedangkan said hawa menyebutkan 2 alasan, pertama, karena perempuan tidak banyak pengalaman dalam urusan transaksi sehingga mudah lupa detail-detailnya, kedua,karena perempuan cenderung emosional, satu sifat yang memang dibutuhkan oleh wanita sebagai ibu. 

Asghar Ali Engginer menyatakan kesaksian 1:2 tidak menunjukkan inferioritasnya perempuan karena memang perempuan pada masa itu tidak memiliki kemampuan yang mamadai dalam bidang transaksional. Selain hal itu, asghar mengingatkan bahwa walaupun dibutuhkan 2 saksi perempuan sebagai pengganti 1 laki-laki, tapi hanya 1 perempuan yang memberi saksi, sedangkan yang satu tidak lebih dari sebagai pengingatnya saja jika ia lupa.

Senada dengan Asghar, Amina mengatakan bahwa dalam ayat tidak disebutkan kedua sebagai saksi, meskipun perempuan yang dihadirkan ada dua tapi berbeda fungsi, satu sebagai saksi, satu sebagai pengingat. Selain itu Amina juga menyebutkan alasan lain yakni, adanya kata “yang kamu ridhai” menunjukkan adanya upanya pencegahan terjadinya kecurangan, karena pada masyarakat umum wanita mudah dipaksa, dan hal ini akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memaksa perempuan dengan mudah. Dengan adanya 2 saksi  perempuan maka ini akan meminimalisir terjadinya paksaan yang melahirkan sumpah palsu. Alasan ketiga Amina adalah, dalam al-Qur’an tidak disebutkan 4 saksi perempuan jika tidak ada 2 saksi laki-laki, adalah untuk menyatakan bahwa tidak ada formulasi 1:2 dalam persaksian.

Selanjutnya tentang permasalahan kedua Apakah perlakuan 1:2 ini berlaku khusus pada kesaksian transaksi kredit saja, atau untuk semua urusan yang memerlukan kesaksian seperti akad nikah, hudud dll?

Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat, jumhur mensyaratkan kesaksian dalam pernikahan, perceraian dan hudud harus laki-laki karena dua alasan:
1. Alasan kebahasaan.
2. Karena Rasulullah saw tidak membolehkan kesaksian perempuan dalam tiga macam kasus diatas, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dan az-Zuhri.

Hanafiyyah membolehkan formulasi 1:2 untuk kesaksian dalam akad nikah, karena diqiyaskan dengan transaksi bisnis yang sama-sama memiliki sesuatu yang ditawarkan. Ibnu Hazm membolehkan persaksian perempuan untuk hudud perzinaan dengan formulasi 1:2. 

Menurut Asghar formulasi 1:2 hanya berlaku dalam transaksi bisnis saja, tidak dapat ditarik pada pembahasan yang lain dengan formulasi 1:2, karena pada masa turunnya ayat wanita tidak memiliki andil dan pengalaman yang cukup dalam transaksi bisnis. Menurut Asghar, ketentuan persaksian wanita dalam Q.S. (2:282) bersifat kontekstual bukan normatif, sedangkan hukum asli dalam persaksian adalah dengan menggunakan formulasi 1:1, hanya saja terdapat pengecualian pada persaksian bisnis, yakni dengan menggunakan formulasi 1:2. Ia berpegangan bahwa, dalam kasus wasiat Q.S. (5:106) , pembuktian perzinaan Q.S (4:15 , 24:4 ) tidak ada ketentuan para saksi harus laki-laki dan menggunakan formulasi 1:2.  

Kesimpulan
Tafsir feminisme adalah hasil pemikiran kaum feminis di dalam menafsir ulang ayat-ayat al-Qur’an sebagai cara untuk mengungkapkan kepada dunia tentang hak-hak wanita yang selama ini hanya didominasi oleh kaum laki-laki, menonjolkan sisi keadilan, persamaan, kepantasan antara kedudukan laki-laki dan perempuan.

Para Penafsir feminis menganggap semua tafsir sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal dan personal tidak ada salahnya ditafsirkan dengan cara berbeda yaitu dengan mengedepankan konteks daripada Teks mereka tidak merujuk kepada penafsir-penafsir klasik karena hal demikian dianggap lebih adil dan menguntungkan semua pihak tanpa ada golongan yang dirugikan.

Dengan berpegang bahwa:
  1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai  hamba, sebagaimana Q.S. (51:56), dan ukuran kemulyaan hamba adalah ketakwaan Q.S. (49:13) tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
  2. Laki-laki dan perempuan sama–sama menjadi khalifah di bumi
  3. Laki-laki dan perempuan sama–sama menerima perjanjian primordial (paling awal).
  4. Adam (laki-laki) Hawa (perempuan) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Dari awal penciptaan adam sampai keduanya ditrnkan ke bumi selalu menggunakan kata gati  Humaa, tumaa. 


1 comment for "Tafsir Feminis"

  1. Halo, terima kasih sudah berbagi informasi yang bermanfaat dan menambah wawasan
    Kunjungi juga website kami di walisongo.ac.id

    ReplyDelete