Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Rasa in Memoar Gunung Kidul

Sobat Langkah Berdebu yang berbahagia.  Pada kali ini saya mau membahas sedikit pengalaman dalam dakwah. Sebut saja ini adalah tulisan gado-gado rasa. Karena ada macam-macam rasa ketika menulis tulisan ini. Oke, Tanpa basa-basi dan tanpa gembar-gembor saya akan mengeksekusi tulisan perjalanan rasa yang pernah terlintas dalam memori. Sebuah perjalanan rasa ketika terjun ke lapangan langsung dalam rangka dakwah islam di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Perlu diketahui bersama bahwa tugas ini adalah tugas dakwah yang dilakukan oleh PWM DIY bekerja sama dengan majlis tablig wilayah. Kegiatan ini dinamakan Mubalig Hijrah. Oke, agar sobat langkah berdebu agar sobat lebih bisa memahami tulisan ini dengan lebih jelas, saya sarankan sobat membaca lebih dahulu tulisan tentang Sepintas tentang Mubalig Hijrah.

Kondisi Sosial Masyarakat desa Sidoarjo, Kec. Tepus, Kab. Gunung Kidul-Yogyakarta.
Kondisi masyarakat di Gunung kidul umumnya relatif sama. Walaupun tidak sama persis. Pada kenyataannya kondisi masyarakatnya adalah masyarakat pedesaan. Jadi boleh dikatakan masyarakatnya adalah masyarakat yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai khas pedesaan. Dilihat dari segi kepercayaan, masyarakat di desa Sidoharjo, Kec. Tepus mayoritas adalah beragama islam. Walaupun boleh dikatakan tingkat keislaman mereka berbeda-beda, tapi yang jelas kebanyakan tingkat pemahaman keislaman mereka adalah pemahaman yang masih relatif umum dan sederhana. Hal ini tidak selamanya salah mereka, karena memang di daerah tersebut masih jarang da’i yang berdakwah di daerah ini.

Kondisi keyakinan dan aspek religiusitas mereka diperparah pula dengan keyakinan kejawen, tahayul, khurafat bahkan kesyirikan yang (maaf) cukup banyak. Hal ini pernah saya temui secara langsung. Suatu ketika salah seorang guru TPA yang mengajar TPA bersama saya jatuh sakit. Kebetulan beliau tinggal di rumah di pojok jalan yang asalnya adalah tempat pembuangan sampah. Sudah beberapa hari beliau tidak ikut mengajar TPA bersama di masjid al-Ikhlas di desa sidoarjo itu karena sedang di rawat inap di rumah sakit (masyarakat menyebutnya sedang mondok). Awalnya saya tidak tahu bila ibu guru tersebut sedang sakit. Lalu saya coba tanyakan kepada tuan rumah yang saya tempatin. Dari situ saya baru tahu bila ibu guru tersebut sedang sakit di rumah sakit.

Di lain hari, ketika tuan rumah saya mau menjenguk ibu guru tersebut, dengan tidak sengaja saya mendengar percakapan para orang tua. Mereka mengatakan “sudah saya bilang, jangan buat rumah di tempat itu, itu kan dulunya tempat angker dan ada penunggunya”. Kemudian tak berapa lama, di masjid di umumkan akan diadakan semacam “yasinan atau tahlilan” agar penunggu rumah tersebut hilang dan tidak mengganggu lagi. Tidak hanya itu. Pada kesempatan lain bahkan di tempat tuan rumah yang saya tempatin juga tak jauh berbeda. Semenjak tiga hari saya mulai tinggal di rumah tersebut, saya melihat gantungan-gantungan seperti jimat atau sejenisnya yang digantung di atas pintu. Sepertinya mereka masih meyakini kepercayaan-kepercayaan tahayyul dan syirik seperti itu.

Dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat sidoarjo, kebanyakan mereka bermata pencaharian sebagai petani, sebagian sebagai tukang bangunan dan sebagian lagi sebagai pedangang di pantai. Kebetulan desa ini dekat dengan pantai Sundak, indrayanti, andong, dan krakal. Dari beberapa pantai tersebut yang paling terkenal adalah pantai indrayanti. Sehingga tak salah jika banyak pula warga ayang berdagang di daerah tersebut. Penghasilan warga yang bermata pencaharian di pantai-pantai ini cukup besar, bahkan saya mendegar sacara langung dalam sehari bisa mencapai jutaan bila musim liburan.

Dilihat dair kondisi pendidikan, masyarakat di sini kebanyakan sudah cukup berpendidikan. Rata-rata anak-anak remajanya telah sampai pada pendidikan menengah, baik menengah atas maupun menengah pertama. Bahkan ada sebagian mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi seperti tuan rumah saya. Mulai dari perguruan tinggi swasta sampai UGM pun ada. Selain ini, ada satu hal lagi yang menjadi sorotan saya adalah mengenai kondisi remaja di daerah sini cenderung mengikuti tren orang kota. Seperti halnya pakaian mereka, walapun berada pada kondisi masyarakat pedesaan namun segi berpakaian mereka seperti anak-anak kota.

Kegiatan
Kalau dilihat dari jadwal saya tinggal di tempat ini. Saya rasa tidak akan banyak yang dapat saya lakukan. Cuma 25 hari. Apalagi ketika pertama kali masuk daerah ini, sudah dipesan oleh tetua masyarakat agar jangan sampai menyinggung-nyinggung masalah tradisi (baca: tradisi seperti padusan, rasulan, yasinan dll). Karena mengingat jadwal terbang kami yang hanya 25 hari pasti tidak akan mempu membereskan tradisi-tradisi yang sudah mendarah daging di tempat tersebut. Namun demikian, hal tersebut tidak menyurutkan niat saya datang ke tempat ini. Oke, walaupun seperti itu, saya tetap menyampaikannya walaupun harus berhati-hati pula. Saya tidak bisa menahan hal itu, karena hal itu adalah masalah yang krusial.

Metode yang saya gunakan tidak muluk-muluk. Yang dapat saya lakukan tidaklah banyak: Pertama, saya mencoba mendekati tokoh masyarakat tersebut, baik dengan cara mengobrol maupun diskusi kecil-kecilan. Kedua, Jika para orang tua tidak bisa (sulit) diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi yang menyimpang. Akhirnya saya berfikir untuk mencoba menanamkan pendidikan akidah kepada anak-anak dan remaja mereka. Walaupun tidak banyak, namun hal itulah yang dapat saya lakukan. Ketiga, saya mencoba membimbing mereka dengan TPA setiap sore hari. Pada jalur ini pun hanya sedikit yang dapat saya sampaikan. Hanya belajar membaca al-Quran dan memberikan sedikit pelajaran tentang bimbingan keilmuan islam secara sederhana. Kegiatan keseharian disana adalah hampir seperti merbot (pengurus masjid) yang jadwalnya agak sedikir berbeda. Yaitu adzan, imam shalat, kultum, mengajar Tpa dll, yang pasti memakmurkan masjid (ceiyee). hhee

Tanggapan
Tanggapan saya pada hal ini tidak banyak. Saya rasa kegiatan ini asyik dan menantang. Disisi lain kegiatan Mubalig Hijarh ini adalah sebagai latihan untuk proses selanjutnya. Untuk usulan saya kedepan, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan Pertama, harus ada da’i yang istiqamah untuk mengurus masyarakat disini. Kedua, dalam berdakwah di tempat ini, sebaiknya tidak secara frontal. Tetapi dengan cara halus. Bisa dikatakan harus dengan pendekatan yang memadai. Ketiga, seorang da’i yang ditempatkan di tempat ini harus mempunyai kesabaran yang tinggi. Karena selain kondisi masyarakatnya yang yang seperti itu juga karena faktor kondisi alam yang jarang air.

Kendala
Pertama, Dakwah islam di daerah sini adalah mayoritas. Numun tidak menutup kemungkinan ada para da’i agama lain yang sedang menjalankan aksinya, baik dengan cara terang-terangan maupun dengan cara halus. Hal ini pernah saya jumpai dalam sebuah kesempatan. Saya iseng-iseng ngobrol dengan anak didik TPA saya yang kebetulan ayahnya adalah seorang kristiani. Setelah bercakap cakap sana-sini menggiring percakapan, akhirnya saya mengetahui bahwa dulu awalnya adalah islam. Akan tatapi seiring berjalannya waktu ayahnya berpindah halauan menjadi kristiani. Ini secara tidak langsung menunjukkan ada aktivitas terselubung dibalik pindahnya agama salah seorang warga disini. Kedua, ketidakadan air (jarang) kecuali dengan tadah hujan atau membeli air (sekitar Rp. 100 rb/tangki). Jadi para da’i yang berkesempatan singgah untuk waktu yang lama harus sabar.


Post a Comment for "Perjalanan Rasa in Memoar Gunung Kidul"