Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hermeneutika, Bukan Metodologi Tafsir al-Qur'an

Dalam khasanah keilmuan islam ada ilmu yang secara khusus yang di gunakan dalam menafsirkan al-Quran, yaitu ilmu tafsir. Dalam menafsirkan al-Quran, seorang mufassir di tuntut untuk menguasai beberapa cabang ilmu agar dalam menafsirkan sesuatu sesuai kaidah tafsir dalam agama islam. Ia tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan al-Quran bila tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang di gunakan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw, para sahabat, para tabi’in dan para ulama yang mumpuni dan telah di akui kapasitasnya sebagai mufassir.
Namun akhir-akhir ini , kita-umat islam- dikejutkan oleh berbagai macam serangan arus pemikiran liberalisme. Baik yang dilakukan oleh orentalis maupun para intelektual islam yang terpesona dengan pemikiran barat. Dalam masalah tafsir di munculkanlah metode tafsir yang dinamai Hermeneutika. Yaitu cara penafsiran yang mula-mulanya ditetapkan untuk menafsirkan Bibel dan di paksakan untuk dapat di aplikasikan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama al-Quran.
Dari akar sejarahnya sebenarnya hermeneutika merupakan adopsi dari istilah Yunani kuno yaitu hermenêuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini kerujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Dikalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dangan Nabi Idris as. Dalam mitologi Yunani kuno sosok Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menghubungkan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof barat sebagai motodologi penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Dalam sepak terjang penggunaan hermeneutika dalam menafsirkan ilmu, metode ini telah dipakai lebih dulu oleh para filosof dan para teolog kristen untuk menafsirkan Bibel. Tugas utama Hermeneutika sebagaimana di jelaskan oleh Werner G. Jeandrond dalam Theological Hermeneutics adalah untuk memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri (The main taks of hermeneutics, hewever, was to understand the textz as their authors had understood them). Dalam The New Encyclopedis Britannica ditulis bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (the Study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari Hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran yang ada dalam bibel (kata mereka). Dalam sejarah interpretasi Bibel ada empat model untama interpretasi Bibel, yaitu:
1.       Literal interpretation
2.       Moral interpretation
3.       Allegorical interpretation, dan
4.       Anagogical interpretation.
Hermeneutika memang cukup pantas untuk di gunakan menafsirkan Bibel karena Bibel bukan merupakan teks wahyu secara final. Yang menjadi problema haruskah penafsiran Hermeneutika tersebut di paksakan pada penfsiran al-Quran?. Jawabannya tentu Tidak !. Jika penafsiran hermeneutik dilakukan pada Bibel hal itu wajar karena kata-kata dalam bibel bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isa. Tidak hanya itu dalam tradisi penyusunan Bibel-pun tidak luput dari kata-kata pengarang Bibel yaitu Markus, Yohanes dll. Kesemuanya itu mempunyai interpretasi sendiri-sendiri dari pemahaman masing-masing pengarang terhadap kata-kata Isa yang mereka catat. Seperti kata-kata Paus yang pernah di muat dalam surat kabar New York Sun pada 17 Januari 2006 yang ditulis oleh Daniel Pipes berkudul “The Pope and the Koran” (Paus dan al-Quran), di jelaskan menurut istilah Paus, Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-kata Tuhan kepada manusia (He used His human creatures and inspired them to speak His word to the world). Karena itu, menurut Paus, kaum Yahudi dan Kristen dapat mengambil apa yang baik dalam bibel mereka dan memperhalusnya. Jadi, kata Paus dalam bibel itu sendiri ada logika internal yang memungkinkan untuk di sesuaikan sesuai dengan situasi dan kondisi yang baru. Dalam istilah Paus, Bibel adalah “kata-kata Tuhan yang turun melalui komunitas manusia”.
Lalu, apa masalahnya jika Hermeneutika diterapakan dalam menafsirkan al-Quran?
Ada banyak masalah jika Hermeneutika di paksakan sebagai metodologi dalam menafsirkan al-Quran. Bahkan akan merubah hukum-hukum yang telah tetap (tsawabit) dalam islam. Tentu hal ini sangat berbahaya dan tidak boleh di biarkan. Konsep al-Quran sendiri sangat berbeda dengan Bibel. Seperti yang sampai sekarang di yakini oleh kuam muslimin bahwa al-Quran itu “lafdzan wa ma’nan minallah’ (lafadz dan ma’nanya dari Allah swt). Meskipun sama-sama keluar dari mulut suci Rasulullah saw, tatapi sejak awal telah di bedakan antara al-Quran dan hadis Nabi. Hal ini jauh berbeda dengan bibel yang merupakan “teks manusiawi” maka Bibel bisa menerima penafsiran hermeneutika dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarahnya. Sedangkan al-Quran berbeda sekali. Sifat al-Quran itu otentik dan sudah final sehingga bukan menjadi bagian dari dinamika sejarah. Islam telah sempurna dari awalnya, hal ini telah di jelaskan di dalam al-Quran sendiri surat al-Maidah ayat 3. Dalam islam memang ada yang bisa berubah sejalan dengan perkembangan zaman yang diketegorikan dalam bagian al-Mutagayyirat (yaitu bagian-bagian yang bisa berubah) seperti muamalah. Namun kita juga perlu tahu bahwa islam juga mempunyai bagian yang al-Tsawâbit (yaitu bagian yang tidak bisa dirubah dan statis) seperti dalam lapangan aqidah dan ibadah. Penafsiran Hermeneutik itu tidak bisa di terapkan dalam teks al-Quran sebagai teks wahyu murni yang memang merupakan kitab yang tanzil.
Para Hermeneut (Pengaplikasi Konsep Hermeneutika) seperti Prof. Amin Abdullah, Prof. Aminah Wadud, Prof. Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid dll mereka menganut paham relativisme tafsir. Kata mereka tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal dan personal. Salah seorang Hermeneut yaitu Prof. Amin Abdullah mengatakan bahwa “ dengan sangat intensif hermenueutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia pastilah “terbatas,-parsial-kontekstual pemahamannya, serta ‘bisa saja keliru’. Ha ini tentu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk selalu benar”. Berangkat dari pemahaman relativisme ini maka tidak ada lagi kebenaran yang bisa diterima semua pihak. Semua manusia bisa salah.
Argumen yang semacam itu sungguh salah besar dan tidak beralasan. Islam adalah agama yang satu dan sepanjang sejarah para ulama selalu bersatu dalam banyak hal. Umat islam dari zaman Nabi saw hingga kini dan sampai hari kiamat membaca syahadat dengan lafadz yang sama, shalat subuh selalu dua rekaat dan membaca takbir ‘Allahu akbar’, begitu juga dengan puasa ramadhan, haji dll. Ini menunjukkan kebenaran yang sama. Akal manusia tentu bisa menjangkau hal yang mutlak yang tentu saja dalam batas-batasnya sebagai manusia. Artinya akal manusia itu menyakini kebenaran yang satu.  Kebenaran itu akan menjadi kebenaran yang mutlak jika di sandarkan kepada dzat yang maha mutlak benar, ialah Allah swt. Tidak benar bahwa akal manusia selalu berbeda dalam segala hal. Bahkan dalam menafsirkan al-Quran pun para mufassir tidak berbeda dalam menafsirkan shalat lima waktu, kewajiban puasa pada bulan ramadhan, haji ke baitullah dll. Ini semua sudah mafhum dalam islam, jadi tidak benar jika semuanya adalah relatif, dzanniy. Bahkan ungkapan mereka yang menyatakan bahwa “semuanya adalah relatif adalah juga relatif. Sehingga ucapan itu sendiri bersifat relatif.
Paham relativisme dalam tafsir ini sangat berbahaya, sebab:
1.       Menghilangkan keyakinan akan kebenaran dalam finalitas islam. Sehingga selalu berusaha memandang kerelativan kebenaran dalam islam.
2.       Menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan islam yang lahir dari al-Quran dan as-Sunnah yang sudah teruji selama ratusan tahun.
3.       Menetapkan islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah-ubah megikuti zaman. Bagi mereka tidak ada yang tatap dalam islam. Hukum islam yang sudah dinyatakan tetap (Tsawabit) dan final menurut mereka senantiasa bisa di ubah sejalan dengan kontektualisasi perkembangan zaman.
Sebagai penutup tulisan ini, mengutip perkataan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa: “Konsekwensi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem epistimologi islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan berbahaya. Penolakannya  terhadap penafsiran yang final dalam suatu masalah bukan hanya masalah agama dan akhlak, tapi juga masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan, dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan antar manusia.



Post a Comment for "Hermeneutika, Bukan Metodologi Tafsir al-Qur'an"