Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di bawah Naungan Cinta

Zahra menunduk kesal. Suara siulan dan tepuk tangan begitu memekakkan telinganya, bagai mengiringi tampilnya seorang pejabat. Ia menarik nafas panjang, matanya yang sejak tadi tertuju pada tas di pangkuannya, kini beralih ke panggung. Disana seorang gadis tengah memperkenalkan lagu yang akan dibawanya.

Zahra yang duduk disekitar banyak siswa-siswi SMA di Kairo itu tertunduk lemas. Tak beberapa lama alunan merdu nyanyian Via terdengar dari atas panggung. Fara yang sedang asyik menikmati lagu Via mengalihkan pandangannya ke Zahra. Gadis itu masih merunduk memandang tas pemberian kakaknya tersebut.

“Hei..!! Zahra, lihat tuh si Via !” teriak Fara kepada Zahra. Tapi betapa kagetnya Fara melihat mata Zahra berkaca-kaca. Ia belum berani menanyainya, apalagi mengintrogasinya. Zahra yang tak menyadari keadaannya hanya menoleh sebentar dan menunduk lagi. Hatinya pilu melihat gadis berjilbab menggoyang-goyangkan pinggulnya mengikuti alunan musik. Ingin rasanya Zahra menghentikan musik itu agar Via berhenti pula, menghentikan gemuruh suara yang menggoncang setiap sudud-sudud aula itu.

“Oh...Ya Allah berilah hidayah kepadanya”, jerit Zahra dalam hatinya. Fara yang dari tadi duduk disampingnya semakin gelisah melihat keadaan Zahra.

“Ra..” panggilnya seraya memegang bahu temannya itu. Zahra tersentak kaget. Dia menoleh ke arah Fara.

“Kamu sakit Ra?”

“tidak”, jawab Zahra singkat.

Tapi matamu basah. Tuh lihat sudah mau turun ke pipi. Zahra cepat-cepat mengusapnnya. Betulkan basah?. Kata Fara seraya mendekatkan kepalanya ke arah Zahra.

“Ya, tapi aku nggak apa apa kok. Aku Cuma merasa lebih baik tidak datang pada acara perpisahan ini”. “Kalau begitu aku minta maaf memaksamu hadir, Kupikir ini kesempataan terkhir kita bertemu di sekolah ini. Apa kamu tidak suka sama Via?, tanya Fara hati-hati. Zahra memandang sahabatnya itu lekat-lekat.

“Bukannya tidak suka Far, aku hanya kurang tertarik pada acara ini. Lagi pula tak ada alasan aku membenci Via. Jangan marah Ra, aku Cuma tanya kok, piece..hehe”. Sudahlah Far aku tak tersinggung kok, aku baik-baik saja. Kita pulang yuk?, ajak Zahra kemudian.

Fara terdiam dan bengong sesaat. Ia banyak tahu tentang Zahra, darinya ia tahu lebih dalam tentang islam. Tapi ia kadang tak mengerti juga tentang keinginan Zahra, persis seperti saat ini.

“Pulang...?”. “Ya, tapi mengapa?, bukankah kamu nanti akan tampil dalam penyampaian hadiah?. Masak sang juarawati mau pulang duluan. Lagi pula, apa tak ingin melihat penampilan cowok yang selalu mengejarmu?” kata Fara sampil menggoda Zahra. “Kalau tak mau pulang, aku akan pulang duluan, kata Zahra datar”.

“Ah, kamu ini bagaimana sih Ra, apa kamu tidak takut sama pak Qasim. Guru killer kita”. “Maaf far, aku harus pulang”. Putus Zahra seraya bangkit dari kursinya. Banyak mata yang memandang kearahnya, namun segera beralih kembali pada goyangan maut Via, seakan tak mau ketinggalan sedikitpun pamandangan jahili itu.

Zahra melangkah ke tempat parkir dengan tergesa. Baru saja hendak menstarter motornya, tiba-tiba ada suara memanggilnya.

“Zahra...!!, tunggu sebentar!”

Tak berapa lama cowok yang dari tadi memanggilnya sudah ada di depan motornya, Tanpa disangka tangannya dengan gesit mengambil kunci motor Zahra. Zahra tersentak kaget. Kembalikan kunci itu Hid, Pinta Zahra.

“Kamu mau pulang ra? Kenapa?”

Ya, ibuku sakit, aku harus pulang secepatnya. Kembalikan kunci itu hid. Aku mohon. Tapi ra..ini hari terakhir kita bertemu, apa kamu tidak ingin mengenang hari bersejarah ini?”

Zahra hanya diam, hatinya menangis. Ia teringat ibunya yang sewaktu berangkat tadi memang sedang sakit. Syahid tahu watak Zahra yang teguh pendiriannya, ia tak tak mudah menyerah. Syahid tak bisa menolaknya. Dipasangnya kembali kunci motor Zahra pada tempatnya, lalu ia menyingkir. “terima kasih”. Ucap Zahra datar langsung menstarter motor metic-nya tersebut tanpa menghiraukan Syahid. Syahid hanya diam terpaku memandang gadis berjilbab putih itu menghilang. Sebenarnya banyak gadis yang mengharapkan selendang cintanya, tapi entah mengapa Zahra yang pendiam justru yang kejatuhan selendang cintanya.

******

Dua tahun berlalu sudah. Zahra baru saja selesaai membereskan tugasnya di asrama putri. Ia baru saja menamatkan buku ‘Pudarnya Pesona Cleopatra’ yang dipinjamnya dari maktabah kampus al-Azhar University.

Kini ia sedikit banyak tahu akan budaya dan peradaban bangsa mesir yang sebenarnya. Tak jauh beda dengan bangsa asal ayahnya, Indonesia. Hari-harinya dihabiskannya di asrama putri atau sesekali mampir ke maktabah al-Jadid di sebelah selatan asramanya.

“Hei Zahra, kamu sibuk nggak?, sebuah pertanyaaan hinggap di gendang telinganya. Ternyata dari teman seasramanya, Fatiya. “enggak kok, hari ini aku enggak ada kuliyah, ada apa Fat?”.

Antarin ke Maktabah al-Jadid yuk. Cari referensi kitab buat tugas dari Syekh Ahmad kemarin. Oh, baiklah. Tapi tunggu sebentar biar aku ganti baju dulu.

*******

            Pukul 09.14 menit mereka telah turun dari kereta di mahattah jami’ depan maktabah al-Jadid. Dengan gesit mereka mengayunkan langkah kearah pintu masuk. Dari luar pintu terlihat banyak sekali ribuan buku tertata rapi di sepanjang rak. Fatiya segera melejit sendiri mencari kitab yang diperlukannya. Sementara Zahra hanya melihat-lihat buku yang ada sambil membaca surat kabar El Mesry El Youm yang sedari tadi dipegangnya.

Tiba-tiba, bruuuk..!

Ma’alisy ya ukhty, Seru Zahra dalam bahasa arab ‘ammiyah. Tanpa memandang siapa yang ditabraknya, Zahra langsung membantunya menata buku yang dijatuhkannya.

“Zahra??”

“Fara?”

Mereka saling tatap, saling terpekik, lantas saling memeluk. Barangkali itu satu ungkapan yang tepat. “Alhamdulillah, tak kusangka kiita bisa berjumpa lagi..” desis Fara sambil menyeka sudud matanya yang basah karena terharu.

“Idem..!!” Zahra berkata riang dalam keharuan. Kau masih seperti dulu Ra. Tak ada yang berubah, bahkan kamu lebih anggun sekarang”. Kuliyah dimana sekarang? Di al-Azhar University, fakultas ushuluddin tingkat kedua, kamu sendiri kuliyah dimana Far?. Aku sekarang di Universitas Cairo tingkat kedua fakultas kedokteran. Banyak kok teman-teman dari SMA yang melanjutkan di sana, termasuk juga....ee.

“apa Far?”. Tutur Zahra heran.

Zahra, kamu masih ingat teman kita di SMA kita dulu, Syahid?

“Syahid?”. Yah, Syahid. Cowok yang dulu pernah menaruh hati padamu dikala SMA, dia juga pernah kuliyah satu universitas denganku, di Universitas Cairo, tapi lain fakultas. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Dari bicaranya, dia kelihatan lebih dewasa, lebih alim dan lebih tawadhu’. Aku tidak tahu persis mengapa ia bisa berubah sedrastis itu. Tapi yang pasti bila Allah telah berkehendak maka tak ada satupun yang bisa mencegahnya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku tidak pernah melihatnya lagi. Terakhir aku melihatnya  dia tengah mengisi suatu diskusi kajian islam di masjid kampus. Setelah itu dia menghilang entah kemana, tak ada kabarnya.”

            Zahra, kamu tahu. Sebulan setelah kabar menghilangnya Syahid, aku mendapatkan kabar bahwa Syahid telah meninggal dunia. Lebih tepatnya meninggal sebagai syuhada. “Alhamdulillah, Innalillahiwainna ilaihi raaji’un. Ucap Zahra dengan bibir bergetar. ‘Fara, benarkah yang kau katakan....?”. Fara terdiam, suasana berubah hening seketika. Buliran-buliran air mulai membasahi pipi Zahra. Hatinya terharu antara terharu dan sedih.

            Zahra, sebelum ia meninggal dia sempat bertanya tentang dirimu. Sepertinya ia masih memendam rasa padamu. Masih seperti dulu. Kamu tak apa kan Ra? “tak apa, aku hanya terharu mendengar ceritamu far, jawab Zahra dengan terisak. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Syahid. Nama teman satu SMA dulu yang pernah menghalang-halanginya pulang karena kunci motor Zahra di ambilnya. Kini, ia telah berlalu. Meninggalkan sebuah kenangan. Meninggal sebagai seorang Syuhada. Terlukis indah seperti namanya “Syahid”.

*******

1 comment for "Di bawah Naungan Cinta"

  1. Karena Saya gak bisa nulis cerpen. Jadi, bagi Saya org yg nulis cerpen itu KERENNNN
    Salam kenal
    Rizka

    ReplyDelete